Kamu adalah apa yang aku tulis , tapi aku adalah yang selalu luput kamu baca

Toad Jumping Up and Down

Sabtu, 19 April 2014

Sastra Pendusta



Setidaknya kali ini kamu memang beruntung
Masih tetap baik – baik saja saat emosi tak mampu lagi ku bendung
Sudah berhasilkah kamu menyungkurkanku dikakimu?
Menenggelamkanku dalam rasa yang semu
Sudah puaskah kamu setelah menyelipkanku dalam barisan airmata pilu?
Dalam agenda permainanmu
Kamu begitu pandai menoreh cerita
Seolah kamu makhluk yang sempurna
Dan bodohnya aku meyakini semua
Aku dibutuhkan atau sekedar dimanfaatkan?
Aku baru tau...
Jika bait – bait kata yang kau susun bukan tertuju padaku
Jika aku hanya ada dalam mimpimu, bukan nyatamu
Menangisku tersedu
Bersihkan luka tapi aku tak mampu
Ini sudah cukup !
Ku damba bersanding, tapi kamu malah berpaling
Disini aku menjaga
Dibelakang kamu main gila
Kamu berubah menjadi pengecut
Saat dahiku mengerut dan aku cemberut, kamu memandangku takut
Wajahmu pucat bagai mayat
Tatkala kuberanikan diri untuk mendekat
Namun kamu meloncat melesat cepat
Ada rimbun dosa yang terlukis jelas
Meminta untuk segera dipangkas
Kamu mendesah resah
Mengusir rasa bersalah
Otakku tak mampu lagi berfikir
Sedang airmataku jatuh bergulir
Terimakasih untuk semua goresan yang kamu sematkan

Bersama luka yang tak kan pernah terlupakan



Kamis, 17 April 2014

Jadilah Temanku Untuk Sekedar Berlari



Pada malam saat kau terjaga aku menatapmu dengan seksama
Ditiap tarikan nafasmu kurasakan rindu yang memburu
Bersembunyi malu dibalik mata sayu
Dilengan kiri kau dekap hangat luka terperi
Dilengan kanan kau peluk erat kenangan
Lalu usai perpisahan engkau masih menghuni ingatan
Nyaris sulit dilupakan
Selagi kau lelap, aku bersiasat memeluk tubuhmu hingga kantuk
Atau sekedar kubenarkan rambutmu yang berantakan
Pada hangat sapaku, kudapati dingin sambutmu
Ketika ku genggam melepas cemas
Engkau berlaku lembut tapi melepas
Saat mata ku kerlingkan
Pandangan justru engkau palingkan
Semestinya hari ini kau ku hampiri
Menemaniku kala jalan ku susuri
Aku selalu mencarimu dalam sunyi
Tapi engkau tidak pernah mengkhawatirkanku meski dalam mimpi
Aku tau diri !
Mendekatpun aku tak berani
Biarlah seperti begini
Dan akan tetap ku biarkan seperti ini
Merelakan engkau yang enggan peduli
Membiarkan engkau yang sudah tak mau tau
Yaa... itulah mampuku...

Merapalkan do’a karna bagiku jarak adalah kemilau rindu

Rabu, 16 April 2014

Simfoni Hati Dilembah Kopi




Ada yang saling bersahutan tatkala pagi menghampiri
Adalah nyaringnya dentingan sendok dan gelas kopi
Padanya kutuangkan gula diatas hitamnya yang kelam
Berharap pahitnya akan luruh bersama air yang kuseduh
Lamat – lamat terdengar suaramu saat kopi itu mulai kulumat
Lalu aku bercermin pada bukatnya yang pekat
Menerawang tajam pada genangan kopi paling dalam
Barangkali akan kudapati dirimu yang sedang tenggelam
Hendak kuselamatkan dirimu
Namun liang – liang tenggorokanku kaku
Pada aromanya, kujumpai cerita yang berbeda
Tawa bahagiamu menggema...
Dengan dia !
Lantas aku mundur teratur
Melihat pundaknya engkau rangkul
Padaku kau berjanji tak akan pergi
Tapi padanya kau lingkari cincin dijemari
Setelahnya kau tinggali luka yang terpatri
Pada hati ini...

Dan manis pahitnya berubah menjadi getir asin

Selasa, 15 April 2014

Surat Tanpa Alamat

              






  Bulan keempat

                                                                                                                        Di Telaga hati

Selamat senja untuk kalian para penyelam impian yang tak pernah usai...
            Hari ini aku kembali dari petualangan liarku. Membawa sejuta melankoli langkahku yang tak jua bertepi.  Menggapai impian yang tak kunjung berada digenggaman. Melawan terpaan badai yang kian menggila. Tapi disini, aku masih menjadi aku yang dulu. Aku yang menyimpan rapi semua rekaman saat – saat kebersamaan kita. Disini, dihati aku masih mematri ribuan tawa renyah harapan juga tangis pilu kehilangan yang setia kulilit pita merah jambu. Mungkin kapal akan tetap aman bila berada didermaga. Namun bukan itu tujuannya dirakit. Sebab hidup jelas tidak boleh diam ditempat. Meski harus menukar peluh dengan darah jangan berhenti ditengah perjalanan. Jadi, sudah sejauh mana kakimu melangkah menggapai asa duhai sahabat sejiwa? Dulu, berpura – pura menjadi tokoh utama  dalam drama yang pernah kita perankan bersama. Berganti topeng dan warna melakoni berbagai macam watak manusia. Mengikuti alur yang sudah tertulis sebagai jalan cerita. Entah merenda suka, pun duka nestapa. Lantas bagian mana yang tidak bahagia ketika perjalanannya sedemikian berwarna?
Duhai sahabat yang menjadi duniaku...
            Saat ini kita sudah menapaki kehidupan yang sesungguhnya. Bukan lagi drama namun nyata. Mendewasakan diri atas segala masalah yang Tuhan beri. Tujuannya adalah untuk menguji sekuat mana kita mampu berdiri. Seperti kata pepatah “ Jikalau takut terhempas ombak, maka jangan membangun rumah ditepi pantai “. Tapi aku tidak takut menghadapi serangan dari luar yang mungkin tak dapat aku hindari. Adalah bersamamu...
Tidak hanya disampingku, namun juga dalam hatiku.
Wahai sahabat, seseorang yang mampu mengatakan hal yang tak pernah ingin aku katakan...
            Tuhan tidak pernah menjanjikan suatu pelayaran yang indah. Tapi Tuhan akan memberikan sebuah pelabuhan yang meneduhkan. Hidup tidak selalu seindah pelangi. Pada kenyataannya kita sendiri yang harus mencari kekuatan untuk mengarungi hamparan samudera.
Duhai sahabat perajut kekuatan hati...
            Kita sudah berjanji bukan? Akan berada dalam satu rasa menghadapi kegagalan yang selalu datang tiba – tiba. Bergandengan tangan saling menguatkan lewat do’a dan pengharapan. Jangan khawatir, Tuhan akan menilai setiap usaha kita. Sehingga setiap kegagalan menjadi teguran atas kemalasan kita.
Wahai sahabatku...
            Tidak ada duka yang abadi. Jika Tuhan sudah berkehendak semua airmata akan berganti menjadi nikmat yang luar biasa. Barangkali kesedihan dan kegundahan adalah cara Tuhan melatih diri kita agar selalu bersabar. Saat ini raga kita memang terpisahkan oleh jarak dan waktu. Akan tetapi jangan sampai rantai persahabatan yang telah kita rangkai menjadi lepas dan terpisah satu per satu. Mungkin kita tidak akan melepaskan. Namun keadaan lah yang perlahan melepaskannya. Aku dan kamu sama – sama saling menyadari bahwa ada mimpi yang harus dikejar. Kita bukan mahasiswa lagi yang dipenuhi setumpuk buku. Yang bisa melakukan hal – hal gila sembari menghabiskan malam yang dingin. Kita dipertemukan oleh waktu, dan pada akhirnya waktu jualah yang akan memisahkan kita. Jika memang benar – benar sahabat, kita tidak akan bicara soal jarak. Tetapi hati dan rasa saling memiliki.
Duhai sahabat, seseorang yang datang ketika seluruh dunia meninggalkanku...
            Adakalanya ketidakcocokan membuat hubungan kita saling acuh dan melelahkan. Tapi bukankah kita juga sudah sepakat bahwa persahabatan adalah perkara saling melengkapi. Saling mengisi rindu dan kekosongan. Saling berharap juga mengharapkan. Saling berbagi juga membagi. Juga saling menangis dan menangisi. Jika ada tabiatku yang membuatmu kecewa, bahasakan saja kecewamu. Jangan diam, tetapi duduk dan saling bincang.
Duhai sahabat yang kini berbeda dimensi dan waktu...
            Kini kau telah terbang bersama sejuta mimpi yang juga kau ajak pergi. Meninggalkan semua kenangan yang kau kemas dengan balutan air mata kepergian. Membawa catatan kecil yang menguap bersama bayangan. Mungkin disana diatas mega, engkau sedang menari bahagia. Menatapku dari langit ketujuh. Lalu aku? Disini aku duduk seorang diri dibangku taman jalan Turi. Membawa potongan – potongan kenangan yang coba kembali ku sulam. Bersama benang kenangan dan jarum harapan yang berdampingan menjadi satu kesatuan.
           
Tuhan sudah memelukmu dengan erat. Menjagamu dari luka terperi.
Dan Tuhan... Ku mohon bisikkan padanya jika disini aku masih bisa melalang buana. Bak burung yang kehilangan salah satu sayapnya. Mungkin aku tidak lagi bisa terbang, tapi setidaknya aku masih dapat berdiri untuk saling mendo’akan juga merelakan. Berharap sedihku akan luruh bersama airmata yang terjatuh. Dan sampai pada masanya Engkau sudi mempertemukan aku dengannya lagi.
Selamat tidur panjang sahabat penopang segala beban penderitaan...


Dekap Hangat Penuh Rindu


Senja Berenda

Kelopak Yang Gugur







Tatkala senja kudapati engkau duduk dibangku taman tak berteman
Lalu sayup – sayup kudengar tangismu dari kejauhan
Sesekali tanganmu menyapu airmata pilu yang mengalir dari balik kelopak mata
Sayu matamu menatap nanar pada setangkai kembang yang kau genggam erat diantara jemari
Ku beranikan diri menggerakkan kakiku dengan sedikit paksa
Aku melangkah menyambangi engkau yang menangis tragis
Meski palung hati melawan karna belum berkawan
Tapi pada semilir angin kutitip sapa manjaku        
Pada putik pertemuan, kuulurkan tangan tanda perkenalan
Ada sambutan nan lembut
Hangat dan begitu memikat
Setelahnya engkau kembali sibuk dengan tangis yang menumpuk
Sementara aku kembali memandang mendung dilangit wajahmu bersama tanya yang menggunung
Kulirik ada yang bersembunyi malu – malu pada kerutan dahimu
Kuintip pelan dan kutemukan sebongkah kenangan
Pada keruh genangan air hujan aku berkaca mencari bayangmu
Senyum manis yang kusediakan seketika berubah menjadi getir bercampur asin
Dengan terbata engkau berkata
Meminta apapun yang terjadi aku tetap disisi
Acap kali aku bersiasat menerka – nerka rentetan kata yang kau ucap
Kuraih tanganmu lalu kugenggam erat
Dengan senyum merekah bahagia aku memandangmu penuh sayang
Membenarkan letak ponimu yang tertiup angin berantakan
Cantik rupamu dibalik topi rajut warna merah jambu
Namun seketika aku kalang kabut
Saat jemarimu melepas tudung cantik diatas kepalamu
Adalah puluhan rambut yang ikut luruh bergantian jatuh
Teriring derasnya derai rintik – rintik yang keluar dari pelupuk matamu
Aku memandang sendu
Aku ingin tau, ditelaga hati apa yang sedang engkau rasa?
Aku benar – benar ingin tau
Tapi aku bukanlah seseorang yang akan engkau beri tau
Dan yang membuat haru adalah kepergian
Ketika kita tak mampu lagi menapaki jalan beriringan
Semenit kemudian hanya punggungmu yang tertangkap pandangan
Lalu diluar kehendak kita, Tuhan memberikan cerita yang berbeda
Sampai pada suatu ketika kabarmu tak pernah lagi mampir ditiap pendengaran
Senja kala itu begitu muram sayang...
Karna kulihat senja tak lagi jingga
Tertutup tebalnya kabut berawan
Setelahmu, bahagia pergi...
Ku kecup nisanmu ditempat yang tak pernah kuduga
Pada airmata yang kujatuhkan, rindu begitu mengusik
Kepada lengan yang tak lagi memeluk
Pada perpisahan yang tak bersuara
Pada kepergianmu yang tenang
Engkau terlalu tergesa meninggalkan
Tanpa memberi aku kesempatan untuk mengatakan bahwa setelahmu bahagiaku tak lagi sama
Kuucap lirih sebaris do’a bersama sepotong kata
Pada layang yang melayang
Tertuju untuk jelita nan mempesona dialam baka




Senja Berenda,

Jumat, 11 April 2014

Air Disudut Mataku







Lagi – lagi urusan hati. Ketika aku dihadapkan dengan kondisi yang perlahan merubah hidupku menjadi lebih berarti. Barangkali ini jalan dari Tuhan. Saat diluar dugaan Tuhan menghadirkan seseorang yang entah darimana asalnya, seperti apa dia dan bagaimana kehidupannya. Aku tidak pernah tau alasan Tuhan menghadirkannya dihidupku. Meskipun pada saat itu aku masih duduk di sebuah Sekolah Menengah Atas didaerah ku. Namaku Ranum Sekar Ayu. Panggil saja aku Ranum. Entah bagaimana mulanya ada seberkas bahagia yang menyembul saat tiba – tiba dia muncul dihadapanku. Perlahan namun pasti. Mungkin waktu sedang berbaik hati membiarkan semuanya berjalan tanpa sedikitpun keraguan. Bagaimana bisa seseorang yang baru saja Tuhan perkenalkan dengan sebegitu cepatnya mampu meracuni imajinasiku dengan segala yang ia punya. Awalnya aku bersikeras untuk menampiknya dan menganggap itu hanya sebatas kekaguman belaka. Kekaguman yang tidak diatasnamakan dengan cinta. Namun apa yang terjadi? Semakin aku mengindar, rasa itu justru kian menghampiri. Memaksaku untuk masuk pada penilaianku yang berbalik arah. Rasa sayang itu mulai membelengguku dengan segala cara. Aku takluk. Takluk pada dia yang berhasil mencuri hatiku.
            Dia... Seseorang yang berhasil membuatku jatuh cinta dengan cara yang berbeda. Si unik yang jago main futsal. Sebut saja namanya Bayu Firdausi. Dia, cinta pertamaku. Seseorang yang membawaku terbang  melikuk – liuk dilangit harapan. Seseorang yang namanya selalu kurapal dalam do’a. Dia laki – laki  tangguh kebanggaanku yang harus dijaga hatinya. Sepenuhnya aku bahagia...
            Namun lain dulu lain sekarang. Mungkin itulah kata – kata yang paling tepat untuk diungkapkan pada saat ini. Bak ditampar kenyataan. Aku tidak pernah mengira akan tenggelam dilautan airmataku sendiri. Ketika perlahan semuanya mulai memudar. Aku merasa ada yang berubah. Sejujurnya banyak tanya yang berkecamuk menjadi satu. Dan yang selalu menjadi penyebab pertengkaran adalah kesibukan, pekerjaan, kuliah dan belum lagi urusan dengan teman – temannya yang tidak semua aku kenal. Aku berusaha membiasakan hal itu dan tidak membuatnya menjadi hal serius. Tapi lagi – lagi dia menghantam pertahananku dengan semua perlakuannya. Aku paham benar bagaimana rasanya menghabiskan malamku dengan menunggu balasan pesan singkat darinya. Aku juga sudah hafal bagaimana rasanya diabaikan. Meski sering kali kabarnya sangat sulit untuk aku dengar, tapi aku tetap mencintainya dengan sabar. Demi Tuhan, aku tidak pernah menggenggamnya terlalu kencang. Hanya saja yang aku mau dia selalu ada dalam pendengaran. Bahkan tidak jarang, dia selalu membuatku sulit memejamkan mata ketika malam datang. Dan lagi – lagi dia berulah dengan hal yang sama. Adalah suatu pengabaian yang tak terhitung jumlahnya. Aku tau dia sedang jenuh. Jenuh akan hubungan yang terbentang diantara jarak yang sedemikian jauhnya. Tapi apa dia tidak berfikir jika aku pun merasakan hal yang sama. Yang aku tidak habis fikir mengapa tidak mencari jalan keluarnya bersama – sama tapi justru lebih memilih diam. Kecewa karna dia ingkar janji sudah sering aku hadapi. Semua itu berjalan hampir 4 tahun, lalu kesabaran yang seperti apalagi yang dia mau?
            Dan yang membuat haru adalah perpisahan. Ketika semua yang kupunya sudah aku berikan lantas ia lebih memilih mempercepat langkah dan pada akhirnya berjalan meninggalkanku. Akhirnya pun pertahanannya goyah. Miris bukan saat harus melihat hubungan yang selama ini kujaga dengan sepenuh jiwa harus runtuh tergerus jarak dan waktu. Dulu, aku memang yang terindah. Tapi itu dulu setelah semuanya dia akhiri dengan kata putus. Aku sadar, mungkin terlalu banyak hal yang dia alami sehingga dia tidak bisa menerima cinta dariku lagi. Aku sadar, aku tidak bisa menjadi seperti apa yang dia minta. Ini bukan mauku. Lalu selain mengiyakan, aku bisa apa? Jujur, terlalu menyakitkan ketika harus membaca isi pesan singkatnya yang bertulis kata – kata pengakhir hubungan. Aku menangis dan terus saja kubodohi diriku sendiri. Lalu apa artinya aku menunggunya selama ini? Apa artinya aku menyayanginya melebihi aku menyayangi diriku sendiri. Lalu untuk apa kepercayaan dan seribu harapan yang selama ini ia beri dan terus kunanti jika pada akhirnya dia robek dengan begitu mudahnya. Apa dia tidak pernah merasa ketika membiarkan aku sendiri dikesunyian yang terus membelenggu. Sementara dia entah dengan siapa saja merajut bahagia untuk dirinya sendiri dan tanpa aku. Aku sakit, aku kecewa dan aku terluka. Tapi aku tidak pernah berniat meninggalkannya walau dengan satu derap langkah saja seperti saat ini yang dia lakukan terhadapku. Aku sudah mengorbankan banyak rasa hanya demi hubungan yang selama ini selalu aku banggakan. Betapa aku menjaganya sekuat tenaga dalam hidup dan mati, ditiap resah, dari detik demi detik. Namun pada akhirnya ia hancurkan, ia hempaskan ego dan amarahnya sampai membuat hatiku berantakan menjadi kepingan kecil yang tidak dapat aku rangkai kembali.
            Kemudian apa yang dia lakukan ketika aku meronta, menangis, menggelayut dikakinya memohon agar dia tidak meninggalkan aku? Lantas dia katakan tidak dan pergi berlalu tanpa memperdulikan bagaimana harus kusembuhkan lukaku ini. Diluar sana adakah yang lebih sakit dari aku? Ketika harus merasakan bagaimana tidak enaknya makan, bagaimana sulit terpejamnya mata, bagaimana rasanya mata sembab akibat airmata yang terus membanjiri pipi. Ketika harus merasakan bagaimana rasanya mengurung diri didalam kamar, bagiamana rasanya semua yang dilakukan terasa hambar. Ketika harus berjuang melawan tekanan untuk menetralisir sebuah keadaan akibat dari suatu  kehilangan. Yaa... Kehilangan orang yang kita sayang membuat hidup rasanya berada dititik terendah dipusara si bulat nol.  
            Katanya aku tidak peka. Ketidakpekaan seperti apa yang dia maksud? Bukankah aku sudah memberikan bahuku sebagai tempat sandarannya meskipun pada ujungnya setelah dia pulih dari letih dia pergi berlalu begitu saja. Apa itu yang ia sebut tidak peka? Dusta. Ibuku, mungkin beliau lah seseorang yang berhasil mengembalikkan kepercayaan diriku dengan segenap cintanya. Seseorang yang dengan rela mengulurkan tangan lembutnya untuk menopang segala kesedihanku. Seseorang yang merengkuhku dengan dekap bahagia sebagai selimutnya. Yaa, ibuku malaikat pelindungku. Aku memang sedang dirundung pilu. Tapi disekelilingku masih ada mereka yang selalu menjadi pendengar setiaku. Mereka yang dengan sigap menuntunku bangkit lagi setelah jatuh terpuruk. Mereka yang selalu menjadi penghiburku. Atas dasar dorongan yang begitu luar biasa dari mereka, maka kuputuskan untuk mencoba bangun kemudian tegak berdiri. Aku tidak mau terus - menerus terpenjara dibalik ruang hatiku sendiri. Aku lelah. Mungkin ini saatnya menunjukkan pada dia bahwa aku mampu mengukir bahagia dengan ataupun tanpanya. Aku tidak mau menjadi sosok pengecut yang takut dan lari dari kenyataan. Sedikit demi sedikit aku mulai dapat bergerak bebas seperti jauh sebelum aku mengalami kejadian ini. Bukan hal besar, adalah hobi menulisku yang aku yakin dapat memulihkanku kesediakala. Aku tidak mau lagi meratapi kepergian sang kekasih hati. Aku rasa sudah bukan saatnya, sementara ada atau tiadanya dia hidup terus berjalan. Aku tidak mau terus berada diposisi yang sama. Dari situ aku mulai rajin menulis, bahkan hasil tulisanku sering aku ikutsertakan kebeberapa event lomba. Bisa jadi inilah cara termutakhirku. Sedikit bicara dan lebih memilih bersua lewat kata. Aku yakin aku akan baik – baik saja.
            Aku tidak ingin serta merta menyalahkannya. Aku sadar, aku hanya manusia biasa. Barangkali memang cintaku terlalu sederhana untuk dia yang begitu istimewa. Mungkin inilah jalan yang terbaik. Saling melepaskan juga merelakan. Karna sekalipun bertahan hanya akan membuat semuanya semakin rumit. Sudah hitungan tahun tapi dia masih belum tergantikan. Aku memang masih mencintainya. Tapi bukan berarti aku tidak bisa berkata tidak jika suatu hari nanti dia menawarkan kembali luka yang diatasnamakan kita. Aku sudah bilang berkali – kali, silahkan dia kembali, tapi jangan membawa segudang harapan untukku lagi. Aku tidak lagi berani berharap, karna yang sudah – sudah semua perhatiannya hanya membunuh waktu jenuh. Dia, satu – satunya alasan mengapa sampai saat ini masih kuputuskan untuk hidup sendiri. Seseorang yang membuatku cinta setengah gila. Dia, laki – laki kesayanganku yang pernah lupa akan tanggal ulang tahunku. Tidak apa – apa, dia masih tetap kucintai dan aku sudah berbesar hati atas apa yang terjadi.
            Sekarang aku jadi tau mengapa Tuhan memberiku batin yang kuat. Alasannya karna beberapa orang yang Tuhan hadirkan adalah sebuah cobaan. Tidak semata – mata terus membawa kebahagiaan. Mungkin ombak menghantam karang bukan karena dia tidak suka, tapi dia mencintai dengan cara yang berbeda. Aku hanya tidak ingin hidup dalam sebuah kebencian terlebih menyimpan dendam. Aku memilih memaknai ini sebagai suatu peringatan dan pembelajaran tentang sebuah keikhlasan kepada takdir yang sudah Tuhan gariskan. Kuatlah, bangkitlah. Tunjukkan pada semua bahwa tangan lembut kita mampu mengguncangkan dunia...
Aku...
Tepat disudut toko yang menjadi tempatku mencari uang jajan
Bersama tas tangan warna merah muda semu orange dan saputangan garis bergambar rainbow
Dibawah lampu yang padam dekat dengan cermin kaca yang terpaku didinding dekat pintu
Untuk kamu...
Seseorang yang namanya selalu kusematkan ditiap do’a dan pengharapan
Semoga bahagiamu selalu tercurah bersama seseorang yang kamu anggap tepat

Hari ini, esok dan selamanya

Bukan Ibu Sabtu Minggu





Hidup jelas tidak diam ditempat. Semua mempunyai masa peralihan dari waktu kewaktu. Setiap titiknya semakin menambah tanggung jawab dan kian memperjelas kodrat. Adalah mengenal dan belajar tanpa batas.
            Seperti aku misalnya. Tanpa disadari usia dan waktu menuntutku untuk mencari tau sesuatu tentang apapun yang akan melingkari hidupku nanti. Barangkali aku sama seperti wanita lain pada umumnya, bermimpi menjadi sosok perempuan sejati yang hebat namun tetap anggun. Aku tidak berniat merubah sesuatu dalam diri yang sudah Tuhan beri. Aku lebih memilih membiarkannya seperti air yang mengalir mengikuti arus. Kalaupun terjadi perubahan mungkin tidak harus dijadikan masalah selama aku masih tetap tenang dalam aturan dan menjadi diriku sendiri.
            Aku rasa sudah saatnya memilih, mempertimbangkan kemudian memutuskan hal terpenting  yang berkaitan dengan orang – orang spesial yang akan melengkapi hidup ini.
            Ialah menjadi seorang ibu rumah tangga. Menjadi wanita sepenuhnya. Wanita yang berprestasi akan baktinya kepada suami. Wanita yang hadir disetiap kondisi apapun ruang dan waktunya. Menjadi ibu rumah tangga yang senantiasa menjaga tabiat seluruh penghuni rumah. Menjadi wanita yang setia mendampingi suami saat suami menahkodai bahtera rumah tangga nanti. Menjadi ibu rumah tangga yang syar’i tingkah juga hatinya. Hingga pada saatnya nanti aku layak mengemban amanah sebagai seorang istri.
            Ya... Seorang istri. Istri yang mengabdi pada suami. Istri yang mampu meringankan beban suami meskipun hanya dengan senyuman. Istri yang sigap menjalankan perintah suami dengan senang hati. Seorang istri yang tanggap akan keluh kesah suami. Menjadi seorang istri sekaligus ibu rumah tangga yang pintar mengatur dan mengolah segala kebutuhan. Dan menjadi seorang istri yang santun penuh kelembutan.
            Sekarang aku sedang mempersiapkan segala yang terbaik untuknya. Termasuk mempersiapkan menjadi seorang ibu untuk anak – anakku. Berharap jika sudah masanya aku akan menjadi ibu yang penuh waktu, bukan seorang ibu yang paruh waktu ataupun seorang ibu yang hanya akan ada tiap sabtu dan minggu. Sudah lama ku tanam dalam – dalam bahwa aku ingin dan harus menjadi seorang ibu yang mampu menjadi peneduh sekaligus pelindung hati anak – anaknya. Ibu yang tidak mendidik anaknya dengan kesombongan diri akan tetapi mengayomi atas dasar kerendahan hati. Untuk orang – orang tercintaku aku rela berusaha sekuat tenaga agar mampu menjadi seorang ibu rumah tangga yang tidak hanya cerdas otaknya namun juga bijak hatinya.
            Perkara rezeki itu sudah menjadi tugas suami. Aku yakin Tuhan sudah mengatur jalan rezeki kita masing – masing dan memberikannya dengan cara yang Tuhan punya.
            Aku tidak takut akan kehilangan banyak hal jika aku hanya berdiam diri dirumah tanpa kegiatan lain selain menjalankan tugas sebagai seorang istri. Tidak. Aku yakini aku tidak akan kehilangan teman – temanku. Aku yakin waktuku tidak akan terbuang sia – sia. Bukankah yang aku pilih adalah sebuah tugas mulia? Aku yakin aku bisa menikmatinya. Bosan pasti akan ada. Tapi banyak hal yang bisa dilakukan untuk membunuh waktu jenuh sembari menunggu suami dan anak – anakku pulang dari segala aktifitas mereka.
            Membaca dan menulis barangkali solusinya. Aku sudah cukup lama menggeluti dunia literasi dan aku mencintainya. Mungkin saja fisikku berdiam ditempat tapi tidak dengan fikiranku. Ia bisa melancong melanglang buana mencari hal baru yang siap aku tuangkan dalam goresan penaku. Bisa saja ini cara termutakhirku untuk menyamakan langkah dengan wanita – wanita yang berkarya diluar sana. Barangkali hobiku juga mampu menjadi peluang rejeki untuk kami. Siapa yang tau? Aku tidak mau hanya menjadi penimbun rupiah lantas lupa akan kodratku yang semestinya. Aku yakin aku mampu membuat suami dan anak – anakku bangga terhadapku. Sekali lagi suami dan anak – anakku lah yang aku yakini akan menjadi alasan dibalik tetap berdirinya aku yang memutuskan sebagai seorang ibu rumah tangga.
            Meskipun perlu disadari bahwa dunia pernikahan tidak selalu seindah pelangi.  Dan pada kenyataannya seorang istri sering kali jatuh bangun mencari kekuatan. Tetapi aku tetap bersikeras untuk menjadi ibu rumah tangga yang berusaha menjadi sosok yang indah, berkilau namun tetap menentramkan. Menjadi ibu rumah tangga muslimah yang sholehah. Akan berusaha menjadi ibu rumah tangga yang mampu merengkuh suami dan anak – anak dengan pesonanya. Aku akan berjuang menjadi seorang ibu yang mendidik anak – anaknya dengan strategi yang tepat agar tumbuh cerdas dan beriman kepada Tuhannya. Aku tidak ingin anak – anakku salah langkah. Dia hanya sebatas kertas kosong dan aku lah sebagai ibu yang memegang penanya.  Memberikan pendidikan yang layak, menanamkan nilai agama serta akhlak sehingga hal itu menjadi bagian terbesar dalam kehidupannya.

            Harapannya semua peranan dan perjuanganku sebagai seorang perempuan sekaligus ibu rumah tangga suatu hari nanti akan menjadi suatu ibadah yang tak ternilai balasannya. Memberikan sedikit inspirasi dan kemantapan hati pada semua wanita agar tidak terbesit keraguan untuk menjadi manusia yang amanah sesuai dengan kodrat yang sesungguhnya. Utamanya segala sesuatu pasti akan ada baik dan buruknya. 

Kamis, 10 April 2014

Saputangan Warna Jingga




Aku duduk tepat dibangku kedua dibelakang pengemudi
Hiruk pikuk membuat jalan semrawut hingga bus melaju tidak begitu kencang
Ku nikmati perjalanan menuju kampus sembari membaca beberapa buku favoritku
Sesekali kulirik ponsel didalam tas gendong warna ungu
Lambat laun aku terhanyut dalam cerita pada novel yang kupegang ditanganku
Tanpa kusadari airmata menetes membasahi salah satu halamannya
Tiba – tiba disampingku sebuah tangan mengulurkan sapu tangan berwarna jingga
Sontak aku kaget dibuatnya
Pelan namun pasti aku menoleh penuh tanya
Pandanganku tepat berada sejajar dengan pandangannya
Dia melayangkan senyumnya kearahku
Aku membalas dengan sedikit malu
Dia mengulangi tawarannya untukku pakai sapu tangan miliknya
Entah apa alasan yang membuat aku menerima tawarannya
Suasana bus begitu panas bejubel beberapa penumpang
Tapi mengapa mendadak tubuhku menggigil dingin
Degub jantungku semakin tak berirama
Fikiranku buyar memecah konsentrasiku
Masih kupegangi saputangan berwarna jingga itu
Beberapa orang yang duduk belakang nampak berbincang – bincang
Aku heran mengapa seriuh ini aku merasa begitu sunyi dan sepi
Semenjak tatapan pertama didalam bus kota
Seseorang berlesung pipi lengkap dengan kacamata
Aku tak berani menyapa
Dia pun diam tanpa sepatah kata
Bus yang kunaiki berhenti dihalte jalan delima
Aku menoleh cepat dan kulihat sebagian orang naik turun
Aku terperangah ketika tanpa kusangka laki – laki berkaca mata disampingku beranjak dari tempat duduknya
Dengan sigap aku mencari saputangan warna jingga kepunyaannya
Maksud hati ingin mengembalikannya
Tapi lagi – lagi dia hanya melemparkan senyum kearahku
Disodorkannya secarik kertas bertulis kata – kata
Aku bingung tak tau apa yang dimaksudnya
Kutampa kertas itu...
Lalu saat ku coba berikan saputangannya dia hanya melambaikan tangan sembari menggelengkan kepala
Kubaca pelan sekali kata – kata dikertas itu
“ Salam kenal teruntuk lembayung senja yang belum kukenal namanya “
“ Dari Bayu Kelana di jalan Delima “

“ Titip saputangan warna jingga ku “

Arloji Hitam




Kakiku melangkah diantara yakin dan ragu
Ku ketuk pintu rumah tua tanpa tetangga diseberang dermaga
Pelatarannya sesak oleh dedaunan yang gugur berserak
Aku memberanikan diri untuk menghampiri berharap akan ada yang menemui
Satu jam berlalu namun tak ada satupun yang menyapaku
Dari balik jendela kudapati bongkahan kayu yang lapuk termakan waktu
Disampingnya berceceran serpihan lampu
Aku memandangi sekelilingku
Mencoba mencari – cari jawaban atas tanya difikiranku
Disudut dinding dekat pintu kulihat seonggok arloji hitam
Usang berselimut debu...
Seakan mengingatkanku pada masa lalu
Aku terpaku menerobos lorong waktu
Mataku terpejam...
Tubuhku terhempas dibangku reot nyaris patah
Aku menyibak rambut panjangku kemudian duduk memeluk lutut
Nafasku sesak terjepit didada
Airmataku tumpah ruah membasahi lengan baju motif kupu
Bagaimana bisa aku kembali terdampar pada kejadian masa silam
Kejadian yang menyeretku pada sebuah kesakitan
Satu dua tiga rasa berkecamuk campur aduk
Kutolehkan pandanganku pada sebuah tempat
Tempat yang menjadi saksi bisu saat seseorang merenggut segala apa yang ada padaku
Saat jiwa dan ragaku dijadikan sebuah boneka permainan
Tepat pukul dua lewat empat puluh satu menit
Suara dentang arloji hitam itu masih terngiang ditiap celah otakku
Hingga detik ini nyerinya masih merasuk sampai sendi – sendi tulangku
Kusapu airmata yang mengalir membasahi pipi
Aku tertunduk penuh malu
Terselip sesal dalam benakku
Mengapa hidupku begitu kelabu?
Bola mataku perlahan melirik penuh sinis
Tak ada seorangpun yang menyambut kembalinya aku
Setelah tahunan terkurung menyembuhkan jalan fikiranku yang rancu
Memulihkan batinku yang terguncang
Memadamkan emosi yang tak bertepi
Aku beranjak lalu berdiri mendekati arloji yang kini mati
Dialah memori yang merekam peristiwa remuknya hati
Jika seperti ini akhirnya...
Aku lebih memilih berada didalam rumah perbaikan jiwa
Menggila selamanya...

Seperti kemarin itu...

Senandung Potret Tua




Diruang ini aku dilahirkan
Digubuk bambu anyaman ayahku
Dengan sentuhan lembut tangan ibuku
Dibalut selimut rajut warna merah jambu
Aku membisu menikmati hangat sehangat nafas ibuku
Sensasinya merasuk luruh bersama darah menyusuri tulang rusukku
Aku menggeliat manja                                      
Mencoba menampakkan pesona
Ibuku terpana melihatnya
Hamparan pipiku dielusnya
Rambut hitamku dibelainya
Aku terlena dibuatnya
Ayahku sibuk mencandaiku
Bertingkah dengan bermacam gaya berharap senyum tersungging dari bibirku
Aku tersipu malu
Melihat ayahku berpose lucu
Alangkah bahagianya aku
Dahulu...
Sebelum keduanya meninggalkanku
Sebelum usiaku tergerus waktu
Sebelum kulitku keriput layu
Sebelum penglihatanku sayu
Dahulu...
Sebelum lidahku kelu
Sebelum tubuhku kaku
Sebelum Tuhan mencabut nyawaku
Dahulu...

Sebelum aku terbaring dipusara gundukan tanah bernisan tulisan namaku