Selamat senja untuk kalian para
penyelam impian yang tak pernah usai...
Hari
ini aku kembali dari petualangan liarku. Membawa sejuta melankoli langkahku
yang tak jua bertepi. Menggapai impian
yang tak kunjung berada digenggaman. Melawan terpaan badai yang kian menggila.
Tapi disini, aku masih menjadi aku yang dulu. Aku yang menyimpan rapi semua
rekaman saat – saat kebersamaan kita. Disini, dihati aku masih mematri ribuan
tawa renyah harapan juga tangis pilu kehilangan yang setia kulilit pita merah
jambu. Mungkin kapal akan tetap aman bila berada didermaga. Namun bukan itu
tujuannya dirakit. Sebab hidup jelas tidak boleh diam ditempat. Meski harus
menukar peluh dengan darah jangan berhenti ditengah perjalanan. Jadi, sudah
sejauh mana kakimu melangkah menggapai asa duhai sahabat sejiwa? Dulu, berpura
– pura menjadi tokoh utama dalam drama
yang pernah kita perankan bersama. Berganti topeng dan warna melakoni berbagai
macam watak manusia. Mengikuti alur yang sudah tertulis sebagai jalan cerita.
Entah merenda suka, pun duka nestapa. Lantas bagian mana yang tidak bahagia
ketika perjalanannya sedemikian berwarna?
Duhai sahabat yang menjadi duniaku...
Saat
ini kita sudah menapaki kehidupan yang sesungguhnya. Bukan lagi drama namun
nyata. Mendewasakan diri atas segala masalah yang Tuhan beri. Tujuannya adalah
untuk menguji sekuat mana kita mampu berdiri. Seperti kata pepatah “ Jikalau
takut terhempas ombak, maka jangan membangun rumah ditepi pantai “. Tapi aku
tidak takut menghadapi serangan dari luar yang mungkin tak dapat aku hindari.
Adalah bersamamu...
Tidak hanya disampingku, namun juga
dalam hatiku.
Wahai sahabat, seseorang yang mampu
mengatakan hal yang tak pernah ingin aku katakan...
Tuhan
tidak pernah menjanjikan suatu pelayaran yang indah. Tapi Tuhan akan memberikan
sebuah pelabuhan yang meneduhkan. Hidup tidak selalu seindah pelangi. Pada
kenyataannya kita sendiri yang harus mencari kekuatan untuk mengarungi hamparan
samudera.
Duhai sahabat perajut kekuatan
hati...
Kita
sudah berjanji bukan? Akan berada dalam satu rasa menghadapi kegagalan yang
selalu datang tiba – tiba. Bergandengan tangan saling menguatkan lewat do’a dan
pengharapan. Jangan khawatir, Tuhan akan menilai setiap usaha kita. Sehingga
setiap kegagalan menjadi teguran atas kemalasan kita.
Wahai sahabatku...
Tidak
ada duka yang abadi. Jika Tuhan sudah berkehendak semua airmata akan berganti
menjadi nikmat yang luar biasa. Barangkali kesedihan dan kegundahan adalah cara
Tuhan melatih diri kita agar selalu bersabar. Saat ini raga kita memang
terpisahkan oleh jarak dan waktu. Akan tetapi jangan sampai rantai persahabatan
yang telah kita rangkai menjadi lepas dan terpisah satu per satu. Mungkin kita
tidak akan melepaskan. Namun keadaan lah yang perlahan melepaskannya. Aku dan
kamu sama – sama saling menyadari bahwa ada mimpi yang harus dikejar. Kita
bukan mahasiswa lagi yang dipenuhi setumpuk buku. Yang bisa melakukan hal – hal
gila sembari menghabiskan malam yang dingin. Kita dipertemukan oleh waktu, dan
pada akhirnya waktu jualah yang akan memisahkan kita. Jika memang benar – benar
sahabat, kita tidak akan bicara soal jarak. Tetapi hati dan rasa saling
memiliki.
Duhai sahabat, seseorang yang datang
ketika seluruh dunia meninggalkanku...
Adakalanya
ketidakcocokan membuat hubungan kita saling acuh dan melelahkan. Tapi bukankah
kita juga sudah sepakat bahwa persahabatan adalah perkara saling melengkapi.
Saling mengisi rindu dan kekosongan. Saling berharap juga mengharapkan. Saling
berbagi juga membagi. Juga saling menangis dan menangisi. Jika ada tabiatku
yang membuatmu kecewa, bahasakan saja kecewamu. Jangan diam, tetapi duduk dan
saling bincang.
Duhai sahabat yang kini berbeda dimensi
dan waktu...
Kini
kau telah terbang bersama sejuta mimpi yang juga kau ajak pergi. Meninggalkan
semua kenangan yang kau kemas dengan balutan air mata kepergian. Membawa
catatan kecil yang menguap bersama bayangan. Mungkin disana diatas mega, engkau
sedang menari bahagia. Menatapku dari langit ketujuh. Lalu aku? Disini aku
duduk seorang diri dibangku taman jalan Turi. Membawa potongan – potongan kenangan
yang coba kembali ku sulam. Bersama benang kenangan dan jarum harapan yang
berdampingan menjadi satu kesatuan.
Tuhan sudah memelukmu dengan erat.
Menjagamu dari luka terperi.
Dan Tuhan... Ku mohon
bisikkan padanya jika disini aku masih bisa melalang buana. Bak burung yang
kehilangan salah satu sayapnya. Mungkin aku tidak lagi bisa terbang, tapi
setidaknya aku masih dapat berdiri untuk saling mendo’akan juga merelakan. Berharap
sedihku akan luruh bersama airmata yang terjatuh. Dan sampai pada masanya
Engkau sudi mempertemukan aku dengannya lagi.
Selamat tidur panjang sahabat
penopang segala beban penderitaan...
Lagi
– lagi urusan hati. Ketika aku dihadapkan dengan kondisi yang perlahan merubah
hidupku menjadi lebih berarti. Barangkali ini jalan dari Tuhan. Saat diluar
dugaan Tuhan menghadirkan seseorang yang entah darimana asalnya, seperti apa
dia dan bagaimana kehidupannya. Aku tidak pernah tau alasan Tuhan
menghadirkannya dihidupku. Meskipun pada saat itu aku masih duduk di sebuah
Sekolah Menengah Atas didaerah ku. Namaku Ranum Sekar Ayu. Panggil saja aku
Ranum. Entah bagaimana mulanya ada seberkas bahagia yang menyembul saat tiba –
tiba dia muncul dihadapanku. Perlahan namun pasti. Mungkin waktu sedang berbaik
hati membiarkan semuanya berjalan tanpa sedikitpun keraguan. Bagaimana bisa seseorang
yang baru saja Tuhan perkenalkan dengan sebegitu cepatnya mampu meracuni
imajinasiku dengan segala yang ia punya. Awalnya aku bersikeras untuk
menampiknya dan menganggap itu hanya sebatas kekaguman belaka. Kekaguman yang
tidak diatasnamakan dengan cinta. Namun apa yang terjadi? Semakin aku
mengindar, rasa itu justru kian menghampiri. Memaksaku untuk masuk pada
penilaianku yang berbalik arah. Rasa sayang itu mulai membelengguku dengan
segala cara. Aku takluk. Takluk pada dia yang berhasil mencuri hatiku.
Dia... Seseorang yang berhasil
membuatku jatuh cinta dengan cara yang berbeda. Si unik yang jago main futsal.
Sebut saja namanya Bayu Firdausi. Dia, cinta pertamaku. Seseorang yang
membawaku terbang melikuk – liuk
dilangit harapan. Seseorang yang namanya selalu kurapal dalam do’a. Dia laki –
laki tangguh kebanggaanku yang harus
dijaga hatinya. Sepenuhnya aku bahagia...
Namun lain dulu lain sekarang.
Mungkin itulah kata – kata yang paling tepat untuk diungkapkan pada saat ini.
Bak ditampar kenyataan. Aku tidak pernah mengira akan tenggelam dilautan
airmataku sendiri. Ketika perlahan semuanya mulai memudar. Aku merasa ada yang
berubah. Sejujurnya banyak tanya yang berkecamuk menjadi satu. Dan yang selalu
menjadi penyebab pertengkaran adalah kesibukan, pekerjaan, kuliah dan belum
lagi urusan dengan teman – temannya yang tidak semua aku kenal. Aku berusaha
membiasakan hal itu dan tidak membuatnya menjadi hal serius. Tapi lagi – lagi
dia menghantam pertahananku dengan semua perlakuannya. Aku paham benar bagaimana
rasanya menghabiskan malamku dengan menunggu balasan pesan singkat darinya. Aku
juga sudah hafal bagaimana rasanya diabaikan. Meski sering kali kabarnya sangat
sulit untuk aku dengar, tapi aku tetap mencintainya dengan sabar. Demi Tuhan,
aku tidak pernah menggenggamnya terlalu kencang. Hanya saja yang aku mau dia
selalu ada dalam pendengaran. Bahkan tidak jarang, dia selalu membuatku sulit
memejamkan mata ketika malam datang. Dan lagi – lagi dia berulah dengan hal
yang sama. Adalah suatu pengabaian yang tak terhitung jumlahnya. Aku tau dia
sedang jenuh. Jenuh akan hubungan yang terbentang diantara jarak yang
sedemikian jauhnya. Tapi apa dia tidak berfikir jika aku pun merasakan hal yang
sama. Yang aku tidak habis fikir mengapa tidak mencari jalan keluarnya bersama
– sama tapi justru lebih memilih diam. Kecewa karna dia ingkar janji sudah
sering aku hadapi. Semua itu berjalan hampir 4 tahun, lalu kesabaran yang
seperti apalagi yang dia mau?
Dan yang membuat haru adalah
perpisahan. Ketika semua yang kupunya sudah aku berikan lantas ia lebih memilih
mempercepat langkah dan pada akhirnya berjalan meninggalkanku. Akhirnya pun
pertahanannya goyah. Miris bukan saat harus melihat hubungan yang selama ini
kujaga dengan sepenuh jiwa harus runtuh tergerus jarak dan waktu. Dulu, aku
memang yang terindah. Tapi itu dulu setelah semuanya dia akhiri dengan kata
putus. Aku sadar, mungkin terlalu banyak hal yang dia alami sehingga dia tidak
bisa menerima cinta dariku lagi. Aku sadar, aku tidak bisa menjadi seperti apa
yang dia minta. Ini bukan mauku. Lalu selain mengiyakan, aku bisa apa? Jujur,
terlalu menyakitkan ketika harus membaca isi pesan singkatnya yang bertulis
kata – kata pengakhir hubungan. Aku menangis dan terus saja kubodohi diriku
sendiri. Lalu apa artinya aku menunggunya selama ini? Apa artinya aku
menyayanginya melebihi aku menyayangi diriku sendiri. Lalu untuk apa
kepercayaan dan seribu harapan yang selama ini ia beri dan terus kunanti jika
pada akhirnya dia robek dengan begitu mudahnya. Apa dia tidak pernah merasa
ketika membiarkan aku sendiri dikesunyian yang terus membelenggu. Sementara dia
entah dengan siapa saja merajut bahagia untuk dirinya sendiri dan tanpa aku.
Aku sakit, aku kecewa dan aku terluka. Tapi aku tidak pernah berniat
meninggalkannya walau dengan satu derap langkah saja seperti saat ini yang dia
lakukan terhadapku. Aku sudah mengorbankan banyak rasa hanya demi hubungan yang
selama ini selalu aku banggakan. Betapa aku menjaganya sekuat tenaga dalam
hidup dan mati, ditiap resah, dari detik demi detik. Namun pada akhirnya ia
hancurkan, ia hempaskan ego dan amarahnya sampai membuat hatiku berantakan
menjadi kepingan kecil yang tidak dapat aku rangkai kembali.
Kemudian apa yang dia lakukan ketika
aku meronta, menangis, menggelayut dikakinya memohon agar dia tidak
meninggalkan aku? Lantas dia katakan tidak dan pergi berlalu tanpa
memperdulikan bagaimana harus kusembuhkan lukaku ini. Diluar sana adakah yang
lebih sakit dari aku? Ketika harus merasakan bagaimana tidak enaknya makan,
bagaimana sulit terpejamnya mata, bagaimana rasanya mata sembab akibat airmata
yang terus membanjiri pipi. Ketika harus merasakan bagaimana rasanya mengurung
diri didalam kamar, bagiamana rasanya semua yang dilakukan terasa hambar. Ketika
harus berjuang melawan tekanan untuk menetralisir sebuah keadaan akibat dari
suatu kehilangan. Yaa... Kehilangan
orang yang kita sayang membuat hidup rasanya berada dititik terendah dipusara
si bulat nol.
Katanya aku tidak peka.
Ketidakpekaan seperti apa yang dia maksud? Bukankah aku sudah memberikan bahuku
sebagai tempat sandarannya meskipun pada ujungnya setelah dia pulih dari letih
dia pergi berlalu begitu saja. Apa itu yang ia sebut tidak peka? Dusta. Ibuku, mungkin
beliau lah seseorang yang berhasil mengembalikkan kepercayaan diriku dengan
segenap cintanya. Seseorang yang dengan rela mengulurkan tangan lembutnya untuk
menopang segala kesedihanku. Seseorang yang merengkuhku dengan dekap bahagia
sebagai selimutnya. Yaa, ibuku malaikat pelindungku. Aku memang sedang
dirundung pilu. Tapi disekelilingku masih ada mereka yang selalu menjadi
pendengar setiaku. Mereka yang dengan sigap menuntunku bangkit lagi setelah
jatuh terpuruk. Mereka yang selalu menjadi penghiburku. Atas dasar dorongan
yang begitu luar biasa dari mereka, maka kuputuskan untuk mencoba bangun
kemudian tegak berdiri. Aku tidak mau terus - menerus terpenjara dibalik ruang
hatiku sendiri. Aku lelah. Mungkin ini saatnya menunjukkan pada dia bahwa aku
mampu mengukir bahagia dengan ataupun tanpanya. Aku tidak mau menjadi sosok
pengecut yang takut dan lari dari kenyataan. Sedikit demi sedikit aku mulai
dapat bergerak bebas seperti jauh sebelum aku mengalami kejadian ini. Bukan hal
besar, adalah hobi menulisku yang aku yakin dapat memulihkanku kesediakala. Aku
tidak mau lagi meratapi kepergian sang kekasih hati. Aku rasa sudah bukan
saatnya, sementara ada atau tiadanya dia hidup terus berjalan. Aku tidak mau terus
berada diposisi yang sama. Dari situ aku mulai rajin menulis, bahkan hasil
tulisanku sering aku ikutsertakan kebeberapa event lomba. Bisa jadi inilah cara
termutakhirku. Sedikit bicara dan lebih memilih bersua lewat kata. Aku yakin
aku akan baik – baik saja.
Aku tidak ingin serta merta menyalahkannya.
Aku sadar, aku hanya manusia biasa. Barangkali memang cintaku terlalu sederhana
untuk dia yang begitu istimewa. Mungkin inilah jalan yang terbaik. Saling
melepaskan juga merelakan. Karna sekalipun bertahan hanya akan membuat semuanya
semakin rumit. Sudah hitungan tahun tapi dia masih belum tergantikan. Aku
memang masih mencintainya. Tapi bukan berarti aku tidak bisa berkata tidak jika
suatu hari nanti dia menawarkan kembali luka yang diatasnamakan kita. Aku sudah
bilang berkali – kali, silahkan dia kembali, tapi jangan membawa segudang
harapan untukku lagi. Aku tidak lagi berani berharap, karna yang sudah – sudah
semua perhatiannya hanya membunuh waktu jenuh. Dia, satu – satunya alasan
mengapa sampai saat ini masih kuputuskan untuk hidup sendiri. Seseorang yang
membuatku cinta setengah gila. Dia, laki – laki kesayanganku yang pernah lupa
akan tanggal ulang tahunku. Tidak apa – apa, dia masih tetap kucintai dan aku
sudah berbesar hati atas apa yang terjadi.
Sekarang aku jadi tau mengapa Tuhan
memberiku batin yang kuat. Alasannya karna beberapa orang yang Tuhan hadirkan
adalah sebuah cobaan. Tidak semata – mata terus membawa kebahagiaan. Mungkin
ombak menghantam karang bukan karena dia tidak suka, tapi dia mencintai dengan
cara yang berbeda. Aku hanya tidak ingin hidup dalam sebuah kebencian terlebih
menyimpan dendam. Aku memilih memaknai ini sebagai suatu peringatan dan
pembelajaran tentang sebuah keikhlasan kepada takdir yang sudah Tuhan gariskan.
Kuatlah, bangkitlah. Tunjukkan pada semua bahwa tangan lembut kita mampu
mengguncangkan dunia...
Aku...
Tepat
disudut toko yang menjadi tempatku mencari uang jajan
Bersama
tas tangan warna merah muda semu orange dan saputangan garis bergambar rainbow
Dibawah
lampu yang padam dekat dengan cermin kaca yang terpaku didinding dekat pintu
Untuk
kamu...
Seseorang
yang namanya selalu kusematkan ditiap do’a dan pengharapan
Semoga
bahagiamu selalu tercurah bersama seseorang yang kamu anggap tepat
Hidup
jelas tidak diam ditempat. Semua mempunyai masa peralihan dari waktu kewaktu.
Setiap titiknya semakin menambah tanggung jawab dan kian memperjelas kodrat.
Adalah mengenal dan belajar tanpa batas.
Seperti aku misalnya. Tanpa disadari
usia dan waktu menuntutku untuk mencari tau sesuatu tentang apapun yang akan
melingkari hidupku nanti. Barangkali aku sama seperti wanita lain pada umumnya,
bermimpi menjadi sosok perempuan sejati yang hebat namun tetap anggun. Aku
tidak berniat merubah sesuatu dalam diri yang sudah Tuhan beri. Aku lebih
memilih membiarkannya seperti air yang mengalir mengikuti arus. Kalaupun
terjadi perubahan mungkin tidak harus dijadikan masalah selama aku masih tetap
tenang dalam aturan dan menjadi diriku sendiri.
Aku rasa sudah saatnya memilih,
mempertimbangkan kemudian memutuskan hal terpenting yang berkaitan dengan orang – orang spesial
yang akan melengkapi hidup ini.
Ialah menjadi seorang ibu rumah
tangga. Menjadi wanita sepenuhnya. Wanita yang berprestasi akan baktinya kepada
suami. Wanita yang hadir disetiap kondisi apapun ruang dan waktunya. Menjadi
ibu rumah tangga yang senantiasa menjaga tabiat seluruh penghuni rumah. Menjadi
wanita yang setia mendampingi suami saat suami menahkodai bahtera rumah tangga
nanti. Menjadi ibu rumah tangga yang syar’i tingkah juga hatinya. Hingga pada
saatnya nanti aku layak mengemban amanah sebagai seorang istri.
Ya... Seorang istri. Istri yang
mengabdi pada suami. Istri yang mampu meringankan beban suami meskipun hanya dengan
senyuman. Istri yang sigap menjalankan perintah suami dengan senang hati.
Seorang istri yang tanggap akan keluh kesah suami. Menjadi seorang istri
sekaligus ibu rumah tangga yang pintar mengatur dan mengolah segala kebutuhan. Dan
menjadi seorang istri yang santun penuh kelembutan.
Sekarang aku sedang mempersiapkan
segala yang terbaik untuknya. Termasuk mempersiapkan menjadi seorang ibu untuk
anak – anakku. Berharap jika sudah masanya aku akan menjadi ibu yang penuh
waktu, bukan seorang ibu yang paruh waktu ataupun seorang ibu yang hanya akan
ada tiap sabtu dan minggu. Sudah lama ku tanam dalam – dalam bahwa aku ingin
dan harus menjadi seorang ibu yang mampu menjadi peneduh sekaligus pelindung
hati anak – anaknya. Ibu yang tidak mendidik anaknya dengan kesombongan diri
akan tetapi mengayomi atas dasar kerendahan hati. Untuk orang – orang
tercintaku aku rela berusaha sekuat tenaga agar mampu menjadi seorang ibu rumah
tangga yang tidak hanya cerdas otaknya namun juga bijak hatinya.
Perkara rezeki itu sudah menjadi
tugas suami. Aku yakin Tuhan sudah mengatur jalan rezeki kita masing – masing
dan memberikannya dengan cara yang Tuhan punya.
Aku tidak takut akan kehilangan
banyak hal jika aku hanya berdiam diri dirumah tanpa kegiatan lain selain
menjalankan tugas sebagai seorang istri. Tidak. Aku yakini aku tidak akan
kehilangan teman – temanku. Aku yakin waktuku tidak akan terbuang sia – sia.
Bukankah yang aku pilih adalah sebuah tugas mulia? Aku yakin aku bisa
menikmatinya. Bosan pasti akan ada. Tapi banyak hal yang bisa dilakukan untuk
membunuh waktu jenuh sembari menunggu suami dan anak – anakku pulang dari
segala aktifitas mereka.
Membaca dan menulis barangkali
solusinya. Aku sudah cukup lama menggeluti dunia literasi dan aku mencintainya.
Mungkin saja fisikku berdiam ditempat tapi tidak dengan fikiranku. Ia bisa
melancong melanglang buana mencari hal baru yang siap aku tuangkan dalam
goresan penaku. Bisa saja ini cara termutakhirku untuk menyamakan langkah
dengan wanita – wanita yang berkarya diluar sana. Barangkali hobiku juga mampu
menjadi peluang rejeki untuk kami. Siapa yang tau? Aku tidak mau hanya menjadi
penimbun rupiah lantas lupa akan kodratku yang semestinya. Aku yakin aku mampu
membuat suami dan anak – anakku bangga terhadapku. Sekali lagi suami dan anak –
anakku lah yang aku yakini akan menjadi alasan dibalik tetap berdirinya aku
yang memutuskan sebagai seorang ibu rumah tangga.
Meskipun perlu disadari bahwa dunia
pernikahan tidak selalu seindah pelangi.
Dan pada kenyataannya seorang istri sering kali jatuh bangun mencari
kekuatan. Tetapi aku tetap bersikeras untuk menjadi ibu rumah tangga yang
berusaha menjadi sosok yang indah, berkilau namun tetap menentramkan. Menjadi
ibu rumah tangga muslimah yang sholehah. Akan berusaha menjadi ibu rumah tangga
yang mampu merengkuh suami dan anak – anak dengan pesonanya. Aku akan berjuang
menjadi seorang ibu yang mendidik anak – anaknya dengan strategi yang tepat
agar tumbuh cerdas dan beriman kepada Tuhannya. Aku tidak ingin anak – anakku
salah langkah. Dia hanya sebatas kertas kosong dan aku lah sebagai ibu yang
memegang penanya. Memberikan pendidikan
yang layak, menanamkan nilai agama serta akhlak sehingga hal itu menjadi bagian
terbesar dalam kehidupannya.
Harapannya semua peranan dan
perjuanganku sebagai seorang perempuan sekaligus ibu rumah tangga suatu hari
nanti akan menjadi suatu ibadah yang tak ternilai balasannya. Memberikan
sedikit inspirasi dan kemantapan hati pada semua wanita agar tidak terbesit
keraguan untuk menjadi manusia yang amanah sesuai dengan kodrat yang
sesungguhnya. Utamanya segala sesuatu pasti akan ada baik dan buruknya.