Kamu adalah apa yang aku tulis , tapi aku adalah yang selalu luput kamu baca

Toad Jumping Up and Down

Minggu, 28 Desember 2014

Dalam bait harianku...



Selamat malam segalaku yang sudah tidak menganggap aku sebagai segalamu...
                Tuhan sangat menyayangiku sayang, meskipun kadang aku sulit untuk mengerti kasih sayang-Nya yang terlalu dalam dan besar itu. Banyak pria diluar sana, akan tetapi entah mengapa kamu yang selalu terlihat berbeda sejak pertemuan itu hingga detik aku menulis ini. Aku tidak sedang mengemis cinta, tidak. Aku hanya ingin orang tau betapa berartinya kamu dihatiku hingga aku mampu menjadikanmu salah satu alasan dari kebahagiaanku.
                Duhai kamu yang namanya selalu ku eja disela – sela do’a, tidakah kamu ingin menanyakan kabarku? Menanyakan kesehatanku? . Tiga minggu belakangan lagi – lagi Allah menunjukkan kecintaan – Nya padaku. Aku diberinya sakit. Segala aktifitas harianku harus terhambat karna kondisi fisik yang kurang bersahabat. Berbagai jenis obat menjadi teman karibku ditiap waktu. Ternyata seperti rasanya hidup dengan bantuan obat – obatan. Bagiku sakit ini belum seberapa sayang, dibanding harus menahan sakit karna berulang kali kehilangan kamu. Ya, kamu... Pria berlian tempatku mendinginkan mata... Sekali lagi maaf sayang, aku sedang tidak mengiba untuk mengharap perhatianmu. Seperti yang sudah kamu tahu, menulis adalah duniaku. Dan itu akan tetap kulakukan sampai habis waktuku. Aku tidak jahat kan? Masih kamu yang lucu yang selalu menjadi topik utama tulisanku.
                Terbukti tidak kalau aku kuat? Aku mampu bertahan dengan ataupun tanpamu. Kalau sakit ini, tak perlu khawatir. Ini hanya bentuk Kasih Tuhan yang selalu mengalir padaku. Seperti inilah aku yang sekarang. Selain memelukmu dalam do’a yang dilapisi kucuran airmata, aku bisa apa? Memaksa kamu agar kamu mau memeluk aku dengan hal yang sama? Sayang, aku tidak sejahat itu. Lalu bagaimana dengan kamu? setelah kamu pergi, sudahkah kamu merasakan cinta dan perhatian sedalam dan setulus yang aku berikan? Maaf, aku hanya takut hukum alam mulai masuk pada kehidupanmu. Aku hanya takut kamu tersakiti oleh sebab yang sama, layaknya aku. Karna Itu sakit sayang. Aku takut kamu tidak mampu bertahan karna kesakitan. Tapi kamu tak perlu risau, aku masih punya dua tangan yang bisa kapan saja kamu genggam kalau – kalau nanti kamu jatuh. Datanglah pada Tuhanmu, dan datanglah padaku jika kamu mau. Nanti aku kasih tahu cara terjitu mengobati luka karna masa lalu...
                Pria bermata sipit dengan senyum fantastik, masihkah kamu merasakan rindu seperti yang selalu aku rasakan. Absurd memang, tapi inilah nyatanya. Nanti, waktu yang akan membuktikan jika aku yang selalu kamu jadikan sebagai pelarian sejatinya lebih tulus dari dia yang selalu kamu utamakan. Nanti, dua sampai tiga tahun lagi saat kamu sudah benar – benar dewasa dan matang. Aku akui, dalam hal ini dia memang lebih beruntung daripada aku. Meski betapapun aku mencoba bertahan dan menjadikan kamu satu – satunya, nyatanya kamu lebih senang menjadikan aku sebagai salah – satunya. Tidak apa – apa sayang, ini mutlak hakmu. Justru aku ingin berterimakasih. Terimakasih untuk sikap dan segala perlakuan nakalmu, sayang. Karenanya sekarang aku jadi mampu hijrah. Hijrah dari wanita manja menjadi wanita bijak yang dewasa. Terimakasih, untuk segala luka, karnanya aku berhasil kembali pada Sang Pemilik yang mutlak kuasai guratan nasibku. Terimakasih karna sekarang aku telah mampu membaluti mahkotaku dengan kain hijab yang lebih besar dari biasanya.  Sayang, aku bahagia. Kamu tahu kenapa? Ya, karna saat ini aku telah berhasil mencintai kamu dengan cara yang benar. Cinta yang aku ikatkan pada Tuhan Sang Maha Cinta. Cinta antara aku, Tuhan dan perasaanku, bukan kamu.  Sebab aku tahu, cintamu sudah tidak tertuju untukku. Tidak masalah...
                Jangan kaget jika suatu hari nanti Tuhan kasih kesempatan untuk kita saling bertatap muka dalam sebuah pertemuan. Jangan kaget, karna aku telah merubah warnaku. Ini pilihanku. Dan aku sangat yakin Tuhan bangga melihatku sekarang. Sekarang aku jadi, kebahagiaan adalah ketika aku sebagai perempuan berhasil menjadi istri yang mampu meneduhkan hati suami. Dan tidak ada yang lebih membahagiakan ketika aku sebagai perempuan berhasil menjadi seorang ibu yang anggun dalam kesederhanaan. Ibu yang tidak memberangkatkan anak – anaknya dari kesombongan diri, akan tetapi menjadikan mereka sebagi pribadi – pribadi yang berlandaskan dengan kerendahan hati. Suatu saat nanti...
                Sayang, aku sudah merasakan bagaimana nikmatnya berdekatan dengan Tuhan, dan aku tidak mau lagi untuk beranjak dari sisi – Nya meski hanya satu derap langkah saja. TIDAK ! Aku selalu merapalkan do’a, agar Tuhan berkenan memberikan kesempatan padaku agar aku mampu membentangkan sajadah  untukmu. Aku berdo’a supaya Tuhan berkenan memberikan kesempatan padaku agar aku bisa merasakan seperti apa rasanya menjadi makmum dalam sholatmu serta mengamini do’a – do’a yang kamu panjatkan. Aku selalu meminta pada Tuhan, berharap Tuhan berkenan memberikan cukup waktu agar kita bisa bersama – sama menyempurnakan separuh dari agama kita hingga Tuhan mau melabuhkan segala rasa dalam ikatan suci yang halal tentunya. Sekali lagi maaf sayang jika segala pengharapanku selalu menyakiti kamu. Asal kamu tau, membayangkan untuk bisa membangun kebahagiaan bersama kamu saja sudah menjadi kebahagiaan bagiku, walupun semu. Terkadang, aku ingin menyergap waktu dan memaksanya untuk memutar kembali saat – saat pertemuan awal kita. Tapi aku sadar, itu mustahil.
                Jangan hening sayang. Maaf, jika lagi – lagi aku membuat matamu berkaca – kaca. Mendekatlah, duduklah disampingku biar aku usap airmatamu dengan tangan mungilku. Dan jika kamu mau, aku bisa merapatkan jari – jari tanganku disela – sela jemarimu. Aku pastikan semua akan baik – baik saja. Itupun jika kamu mau... Mohon lengkungkanlah semburat bibirmu membentuk senyuman. Tunjukkan senyum terindahmu untukku. Biarkan sejenak aku menatapnya setelah sekian lama tak pernah kurasakan lagi sensasi fantatisnya.
                Ngomong – ngomong, makan apa kamu hari ini? Sudah sholatkah? Bergegaslah menghadap Tuhanmu jika itu belum kamu tunaikan. Oia, bagaimana kabar si kriwil, rambut ikalmu yang dulu tak pernah luput aku usap. Bagaimana dengan pipi tembem dan perut buncit itu? Masihkah menggemaskan seperti waktu dulu? Lalu mata sipit kesayanganku, bagaimana kabarnya? Tidakkah ia rindu ingin menatapku? Ya ya ya... Semua yang ada padamu masih selalu nampak mempesona, sayang.
                Aku lelah, sepertinya aku harus beranjak dan lekas istirahat. Aku dirundung demam lagi, sayang. Maukah kamu membawakan segelas air putih untukku sebagai teman minum obat – obat yang menyebalkan itu? Dan sebelum beranjak, maukah kamu menyematkan selimut bergambar pinokio itu ketubuhku? Aku minta tolong...

                Tenang saja sayang, aku tak akan meminta kamu untuk menemaniku disaat aku terjaga. Karna aku tau, kamu sudah tidak sabar kan ingin menyapa wanita yang sedang menunggumu disana? Aku tau. Besok jika ada waktu, main – mainlah dibloggku. Nanti aku temani kamu ngobrol lewat tulisan – tulisanku. Pergilah untuk dia yang sedang menantimu...

Selasa, 17 Juni 2014

Kidung Cantik Untuk Sang Pendidik




Selamat senja duhai pendidik dengan senyum fantastik
Selamat menikmati secangkir kopi bersama suasana yang kian sepi
Selamat menyantap potongan – potongan kue salju nan lucu
Malam ini sebut saja aku pengganggu
Pengganggu segala aktifitas malam mu
Pengganggu yang datang tak tau waktu
Duhai bapak ibu yang berilmu...
Jika engkau mau, baca saja rangkaian puisi ditulisan usangku
Isinya lebih dari sekedar cinta
Tapi aku janji tak akan membuat bulir airmatamu jatuh karena tabiatku
Jadi tak perlu engkau siapkan tissue
Tetaplah duduk manis disudut sofa bercorak bunga kamboja
Sembari menyaksikan aku yang bermain dipusara aksara – aksara
Aku tidak bermaksud mengguruimu
Dahulu... dibangku itu...
Engkau menahkodaiku berlayar mangarungi lautan ilmu
Berdayung pena
Bersampan buku
Hingga menepilah aku dilabukan pertamaku
Meninggalkanmu didermaga bersama sejinjing kenangan penuh warna
Berat langkahku teriring airmata yang enggan kering
Memasuki gerbang baru bertajuk perjuangan
Pada perpisahan kala itu, ada semburat senyum bahagia yang tersirat
Juga disertai tangis kehilangan yang melengking
Duhai bapak ibu penegak tiang – tiang bangsa...
Lihatlah aku...
Lihatlah aku yang telah mencoba memaknai janji – janji bakti
Tentang arti perjuangan juga balas budi
Barangkali tak sesuai harapmu
Tapi inilah mampuku...
Mengungkap seuntai haturan terimakasihku lewat kata yang semu
Wahai bapak serta ibu guru...
Terimakasih untuk lilin yang kau nyalakan diruang gelap fikiranku
Terangnya membuat aku jadi tau kemana langkahku pergi dan dimana harusku kembali
Terimakasih untuk segenap sambut lembutmu
Karenanya kudapati ada hangat yang menjalari rangkaian mimpi
Terimakasih untuk seluruh munajat do’a yang engkau panjat diusai sujud sholatmu
Duhai pejuang pemupuk tunas – tunas baru...
Terimakasih telah mengenalkanku pada huruf – huruf unik yang kini menjadi teman untukku ketik
Terimakasih telah mengajariku bagaimana cara menyebut a i u e o dilidah cadelku
Karenanya aku jadi mampu menulis syair manis ini untukmu
Kulihat ada garis lengkung terbuka keatas diraut wajahmu
Mengapa?
Terbuktikan? Aku tidak nakal !
Bapak ibu guru penebar semangat dipenjuru nadi...
Jarum jam terus berputar kekanan dan ini sudah larut
Sepertinya matamu semakin sayu menahan kantuk yang datang merasuk
Tubuhmu mulai layu setelah seharian mengemban kewajiban
Beranjaklah dari sofa empuk itu duhai bapak ibu...
Sandarkan sejenak segala letih dan beban yang menggunung dipundakmu
Aku sudahi saja bincang ringan diantara kita
Antara pendidik dan anak didiknya
Terimakasih atas jamuan pengetahuan yang begitu mengeyangkan
Terimakasih untuk racikan kesabaran yang kau berikan sebagai bingkisan
Aku janji akan mematrinya diliang – liang ingatan
Lantas kupertaruhkan pada kerasnya hidup yang tak berkesudahan
Dekap hangat dariku...
Sehangat sampul yang membaluti buku




Balada Dua Permata




Siang ini kembali kutapakkan jemariku dihamparan tuts – tuts huruf yang berjajar rapi
Fikiranku menerawang lepas menembus batas
Pada bentangan kertas putih kutuangkan kata bernada syair kehidupan
Tentang janji – janji bakti yang kulayangkan teruntuk dua permata hati

Ayah... Ibu... Aku ingin bicara
Mengurai kata menoreh cerita
Malam tadi telah ku khusukkan do’aku diatas sajadah berwarna biru
Derai airmata tumpah ruah mengiringi segala pengharapanku

Ayah...
Aku tau engkau begitu lelah
Menyusuri jalanan, terpanggang gugusan matahari yang maha panas
Luruh bersama debu yang memekati kulit hitammu

Ayah...
Pada guratan diatas garis lengkung matamu kutemui ratusan gelembung – gelembung perjuangan
Basah, pecah, mengalir mengikuti detak nadi
Luruh hingga ujung jemari

Ayah...
Evolusi rambutmu bak ungkapan yang tak bersuara
Membungkam tajam getir yang menghujam
Akan sajak hidup beberapa waktu silam

Memahat kisah bersama ibunda
Ibuku... Pelita hatiku...
Lembut lakumu membuai rindu
Mendendangankan alunan detak jantungmu

Ibuku... Pejuang hidup dan matiku
Pada bening matamu kudapati cahaya berpendar rapi
Menyinari segala penjuru hati
Terang benderang menyibak malam yang sepi

Kudengar ada tangis yang menggema
Membahana memenuhi sudut ruang sederhana
Disana...
Namaku fasih dilafalnya

Ayah dan ibuku... Peneduh segala risauku
Kini usiaku menginjak dewasa
Dan sudah kupaparkan segala mimpiku
Mimpi untuk kalian dua permata hatiku

Jika esok aku telah benar – benar tumbuh menjadi dewasa
Akan ku kuatkan diri untuk berpijak
Agar kalian dapat sejenak lepas dari gunungan beban
Bernafas lega dalam atmosfir

Ayah... Ibu...
Bumi akan terus berputar
Aku akan bangkit dalam semangat yang berkobar
Tegar setegar batu karang

Ayah... Ibu...
Duduklah dirumah
Menikmati secangkir kopi khas buatanku
Umpamakan diri kalian sebagai pasangan baru

Pada bait terakhir disyair usangku
Kuhaturkan sejuta kata terimakasih
Terimakasih atas hantaran menuju lembah tinggi bernama kedamaian
Terimakasih untuk pahit getir yang kalian tempuh untukku


Sedari dulu... Kini hingga nanti...

Sabtu, 19 April 2014

Sastra Pendusta



Setidaknya kali ini kamu memang beruntung
Masih tetap baik – baik saja saat emosi tak mampu lagi ku bendung
Sudah berhasilkah kamu menyungkurkanku dikakimu?
Menenggelamkanku dalam rasa yang semu
Sudah puaskah kamu setelah menyelipkanku dalam barisan airmata pilu?
Dalam agenda permainanmu
Kamu begitu pandai menoreh cerita
Seolah kamu makhluk yang sempurna
Dan bodohnya aku meyakini semua
Aku dibutuhkan atau sekedar dimanfaatkan?
Aku baru tau...
Jika bait – bait kata yang kau susun bukan tertuju padaku
Jika aku hanya ada dalam mimpimu, bukan nyatamu
Menangisku tersedu
Bersihkan luka tapi aku tak mampu
Ini sudah cukup !
Ku damba bersanding, tapi kamu malah berpaling
Disini aku menjaga
Dibelakang kamu main gila
Kamu berubah menjadi pengecut
Saat dahiku mengerut dan aku cemberut, kamu memandangku takut
Wajahmu pucat bagai mayat
Tatkala kuberanikan diri untuk mendekat
Namun kamu meloncat melesat cepat
Ada rimbun dosa yang terlukis jelas
Meminta untuk segera dipangkas
Kamu mendesah resah
Mengusir rasa bersalah
Otakku tak mampu lagi berfikir
Sedang airmataku jatuh bergulir
Terimakasih untuk semua goresan yang kamu sematkan

Bersama luka yang tak kan pernah terlupakan



Kamis, 17 April 2014

Jadilah Temanku Untuk Sekedar Berlari



Pada malam saat kau terjaga aku menatapmu dengan seksama
Ditiap tarikan nafasmu kurasakan rindu yang memburu
Bersembunyi malu dibalik mata sayu
Dilengan kiri kau dekap hangat luka terperi
Dilengan kanan kau peluk erat kenangan
Lalu usai perpisahan engkau masih menghuni ingatan
Nyaris sulit dilupakan
Selagi kau lelap, aku bersiasat memeluk tubuhmu hingga kantuk
Atau sekedar kubenarkan rambutmu yang berantakan
Pada hangat sapaku, kudapati dingin sambutmu
Ketika ku genggam melepas cemas
Engkau berlaku lembut tapi melepas
Saat mata ku kerlingkan
Pandangan justru engkau palingkan
Semestinya hari ini kau ku hampiri
Menemaniku kala jalan ku susuri
Aku selalu mencarimu dalam sunyi
Tapi engkau tidak pernah mengkhawatirkanku meski dalam mimpi
Aku tau diri !
Mendekatpun aku tak berani
Biarlah seperti begini
Dan akan tetap ku biarkan seperti ini
Merelakan engkau yang enggan peduli
Membiarkan engkau yang sudah tak mau tau
Yaa... itulah mampuku...

Merapalkan do’a karna bagiku jarak adalah kemilau rindu

Rabu, 16 April 2014

Simfoni Hati Dilembah Kopi




Ada yang saling bersahutan tatkala pagi menghampiri
Adalah nyaringnya dentingan sendok dan gelas kopi
Padanya kutuangkan gula diatas hitamnya yang kelam
Berharap pahitnya akan luruh bersama air yang kuseduh
Lamat – lamat terdengar suaramu saat kopi itu mulai kulumat
Lalu aku bercermin pada bukatnya yang pekat
Menerawang tajam pada genangan kopi paling dalam
Barangkali akan kudapati dirimu yang sedang tenggelam
Hendak kuselamatkan dirimu
Namun liang – liang tenggorokanku kaku
Pada aromanya, kujumpai cerita yang berbeda
Tawa bahagiamu menggema...
Dengan dia !
Lantas aku mundur teratur
Melihat pundaknya engkau rangkul
Padaku kau berjanji tak akan pergi
Tapi padanya kau lingkari cincin dijemari
Setelahnya kau tinggali luka yang terpatri
Pada hati ini...

Dan manis pahitnya berubah menjadi getir asin

Selasa, 15 April 2014

Surat Tanpa Alamat

              






  Bulan keempat

                                                                                                                        Di Telaga hati

Selamat senja untuk kalian para penyelam impian yang tak pernah usai...
            Hari ini aku kembali dari petualangan liarku. Membawa sejuta melankoli langkahku yang tak jua bertepi.  Menggapai impian yang tak kunjung berada digenggaman. Melawan terpaan badai yang kian menggila. Tapi disini, aku masih menjadi aku yang dulu. Aku yang menyimpan rapi semua rekaman saat – saat kebersamaan kita. Disini, dihati aku masih mematri ribuan tawa renyah harapan juga tangis pilu kehilangan yang setia kulilit pita merah jambu. Mungkin kapal akan tetap aman bila berada didermaga. Namun bukan itu tujuannya dirakit. Sebab hidup jelas tidak boleh diam ditempat. Meski harus menukar peluh dengan darah jangan berhenti ditengah perjalanan. Jadi, sudah sejauh mana kakimu melangkah menggapai asa duhai sahabat sejiwa? Dulu, berpura – pura menjadi tokoh utama  dalam drama yang pernah kita perankan bersama. Berganti topeng dan warna melakoni berbagai macam watak manusia. Mengikuti alur yang sudah tertulis sebagai jalan cerita. Entah merenda suka, pun duka nestapa. Lantas bagian mana yang tidak bahagia ketika perjalanannya sedemikian berwarna?
Duhai sahabat yang menjadi duniaku...
            Saat ini kita sudah menapaki kehidupan yang sesungguhnya. Bukan lagi drama namun nyata. Mendewasakan diri atas segala masalah yang Tuhan beri. Tujuannya adalah untuk menguji sekuat mana kita mampu berdiri. Seperti kata pepatah “ Jikalau takut terhempas ombak, maka jangan membangun rumah ditepi pantai “. Tapi aku tidak takut menghadapi serangan dari luar yang mungkin tak dapat aku hindari. Adalah bersamamu...
Tidak hanya disampingku, namun juga dalam hatiku.
Wahai sahabat, seseorang yang mampu mengatakan hal yang tak pernah ingin aku katakan...
            Tuhan tidak pernah menjanjikan suatu pelayaran yang indah. Tapi Tuhan akan memberikan sebuah pelabuhan yang meneduhkan. Hidup tidak selalu seindah pelangi. Pada kenyataannya kita sendiri yang harus mencari kekuatan untuk mengarungi hamparan samudera.
Duhai sahabat perajut kekuatan hati...
            Kita sudah berjanji bukan? Akan berada dalam satu rasa menghadapi kegagalan yang selalu datang tiba – tiba. Bergandengan tangan saling menguatkan lewat do’a dan pengharapan. Jangan khawatir, Tuhan akan menilai setiap usaha kita. Sehingga setiap kegagalan menjadi teguran atas kemalasan kita.
Wahai sahabatku...
            Tidak ada duka yang abadi. Jika Tuhan sudah berkehendak semua airmata akan berganti menjadi nikmat yang luar biasa. Barangkali kesedihan dan kegundahan adalah cara Tuhan melatih diri kita agar selalu bersabar. Saat ini raga kita memang terpisahkan oleh jarak dan waktu. Akan tetapi jangan sampai rantai persahabatan yang telah kita rangkai menjadi lepas dan terpisah satu per satu. Mungkin kita tidak akan melepaskan. Namun keadaan lah yang perlahan melepaskannya. Aku dan kamu sama – sama saling menyadari bahwa ada mimpi yang harus dikejar. Kita bukan mahasiswa lagi yang dipenuhi setumpuk buku. Yang bisa melakukan hal – hal gila sembari menghabiskan malam yang dingin. Kita dipertemukan oleh waktu, dan pada akhirnya waktu jualah yang akan memisahkan kita. Jika memang benar – benar sahabat, kita tidak akan bicara soal jarak. Tetapi hati dan rasa saling memiliki.
Duhai sahabat, seseorang yang datang ketika seluruh dunia meninggalkanku...
            Adakalanya ketidakcocokan membuat hubungan kita saling acuh dan melelahkan. Tapi bukankah kita juga sudah sepakat bahwa persahabatan adalah perkara saling melengkapi. Saling mengisi rindu dan kekosongan. Saling berharap juga mengharapkan. Saling berbagi juga membagi. Juga saling menangis dan menangisi. Jika ada tabiatku yang membuatmu kecewa, bahasakan saja kecewamu. Jangan diam, tetapi duduk dan saling bincang.
Duhai sahabat yang kini berbeda dimensi dan waktu...
            Kini kau telah terbang bersama sejuta mimpi yang juga kau ajak pergi. Meninggalkan semua kenangan yang kau kemas dengan balutan air mata kepergian. Membawa catatan kecil yang menguap bersama bayangan. Mungkin disana diatas mega, engkau sedang menari bahagia. Menatapku dari langit ketujuh. Lalu aku? Disini aku duduk seorang diri dibangku taman jalan Turi. Membawa potongan – potongan kenangan yang coba kembali ku sulam. Bersama benang kenangan dan jarum harapan yang berdampingan menjadi satu kesatuan.
           
Tuhan sudah memelukmu dengan erat. Menjagamu dari luka terperi.
Dan Tuhan... Ku mohon bisikkan padanya jika disini aku masih bisa melalang buana. Bak burung yang kehilangan salah satu sayapnya. Mungkin aku tidak lagi bisa terbang, tapi setidaknya aku masih dapat berdiri untuk saling mendo’akan juga merelakan. Berharap sedihku akan luruh bersama airmata yang terjatuh. Dan sampai pada masanya Engkau sudi mempertemukan aku dengannya lagi.
Selamat tidur panjang sahabat penopang segala beban penderitaan...


Dekap Hangat Penuh Rindu


Senja Berenda

Kelopak Yang Gugur







Tatkala senja kudapati engkau duduk dibangku taman tak berteman
Lalu sayup – sayup kudengar tangismu dari kejauhan
Sesekali tanganmu menyapu airmata pilu yang mengalir dari balik kelopak mata
Sayu matamu menatap nanar pada setangkai kembang yang kau genggam erat diantara jemari
Ku beranikan diri menggerakkan kakiku dengan sedikit paksa
Aku melangkah menyambangi engkau yang menangis tragis
Meski palung hati melawan karna belum berkawan
Tapi pada semilir angin kutitip sapa manjaku        
Pada putik pertemuan, kuulurkan tangan tanda perkenalan
Ada sambutan nan lembut
Hangat dan begitu memikat
Setelahnya engkau kembali sibuk dengan tangis yang menumpuk
Sementara aku kembali memandang mendung dilangit wajahmu bersama tanya yang menggunung
Kulirik ada yang bersembunyi malu – malu pada kerutan dahimu
Kuintip pelan dan kutemukan sebongkah kenangan
Pada keruh genangan air hujan aku berkaca mencari bayangmu
Senyum manis yang kusediakan seketika berubah menjadi getir bercampur asin
Dengan terbata engkau berkata
Meminta apapun yang terjadi aku tetap disisi
Acap kali aku bersiasat menerka – nerka rentetan kata yang kau ucap
Kuraih tanganmu lalu kugenggam erat
Dengan senyum merekah bahagia aku memandangmu penuh sayang
Membenarkan letak ponimu yang tertiup angin berantakan
Cantik rupamu dibalik topi rajut warna merah jambu
Namun seketika aku kalang kabut
Saat jemarimu melepas tudung cantik diatas kepalamu
Adalah puluhan rambut yang ikut luruh bergantian jatuh
Teriring derasnya derai rintik – rintik yang keluar dari pelupuk matamu
Aku memandang sendu
Aku ingin tau, ditelaga hati apa yang sedang engkau rasa?
Aku benar – benar ingin tau
Tapi aku bukanlah seseorang yang akan engkau beri tau
Dan yang membuat haru adalah kepergian
Ketika kita tak mampu lagi menapaki jalan beriringan
Semenit kemudian hanya punggungmu yang tertangkap pandangan
Lalu diluar kehendak kita, Tuhan memberikan cerita yang berbeda
Sampai pada suatu ketika kabarmu tak pernah lagi mampir ditiap pendengaran
Senja kala itu begitu muram sayang...
Karna kulihat senja tak lagi jingga
Tertutup tebalnya kabut berawan
Setelahmu, bahagia pergi...
Ku kecup nisanmu ditempat yang tak pernah kuduga
Pada airmata yang kujatuhkan, rindu begitu mengusik
Kepada lengan yang tak lagi memeluk
Pada perpisahan yang tak bersuara
Pada kepergianmu yang tenang
Engkau terlalu tergesa meninggalkan
Tanpa memberi aku kesempatan untuk mengatakan bahwa setelahmu bahagiaku tak lagi sama
Kuucap lirih sebaris do’a bersama sepotong kata
Pada layang yang melayang
Tertuju untuk jelita nan mempesona dialam baka




Senja Berenda,

Jumat, 11 April 2014

Air Disudut Mataku







Lagi – lagi urusan hati. Ketika aku dihadapkan dengan kondisi yang perlahan merubah hidupku menjadi lebih berarti. Barangkali ini jalan dari Tuhan. Saat diluar dugaan Tuhan menghadirkan seseorang yang entah darimana asalnya, seperti apa dia dan bagaimana kehidupannya. Aku tidak pernah tau alasan Tuhan menghadirkannya dihidupku. Meskipun pada saat itu aku masih duduk di sebuah Sekolah Menengah Atas didaerah ku. Namaku Ranum Sekar Ayu. Panggil saja aku Ranum. Entah bagaimana mulanya ada seberkas bahagia yang menyembul saat tiba – tiba dia muncul dihadapanku. Perlahan namun pasti. Mungkin waktu sedang berbaik hati membiarkan semuanya berjalan tanpa sedikitpun keraguan. Bagaimana bisa seseorang yang baru saja Tuhan perkenalkan dengan sebegitu cepatnya mampu meracuni imajinasiku dengan segala yang ia punya. Awalnya aku bersikeras untuk menampiknya dan menganggap itu hanya sebatas kekaguman belaka. Kekaguman yang tidak diatasnamakan dengan cinta. Namun apa yang terjadi? Semakin aku mengindar, rasa itu justru kian menghampiri. Memaksaku untuk masuk pada penilaianku yang berbalik arah. Rasa sayang itu mulai membelengguku dengan segala cara. Aku takluk. Takluk pada dia yang berhasil mencuri hatiku.
            Dia... Seseorang yang berhasil membuatku jatuh cinta dengan cara yang berbeda. Si unik yang jago main futsal. Sebut saja namanya Bayu Firdausi. Dia, cinta pertamaku. Seseorang yang membawaku terbang  melikuk – liuk dilangit harapan. Seseorang yang namanya selalu kurapal dalam do’a. Dia laki – laki  tangguh kebanggaanku yang harus dijaga hatinya. Sepenuhnya aku bahagia...
            Namun lain dulu lain sekarang. Mungkin itulah kata – kata yang paling tepat untuk diungkapkan pada saat ini. Bak ditampar kenyataan. Aku tidak pernah mengira akan tenggelam dilautan airmataku sendiri. Ketika perlahan semuanya mulai memudar. Aku merasa ada yang berubah. Sejujurnya banyak tanya yang berkecamuk menjadi satu. Dan yang selalu menjadi penyebab pertengkaran adalah kesibukan, pekerjaan, kuliah dan belum lagi urusan dengan teman – temannya yang tidak semua aku kenal. Aku berusaha membiasakan hal itu dan tidak membuatnya menjadi hal serius. Tapi lagi – lagi dia menghantam pertahananku dengan semua perlakuannya. Aku paham benar bagaimana rasanya menghabiskan malamku dengan menunggu balasan pesan singkat darinya. Aku juga sudah hafal bagaimana rasanya diabaikan. Meski sering kali kabarnya sangat sulit untuk aku dengar, tapi aku tetap mencintainya dengan sabar. Demi Tuhan, aku tidak pernah menggenggamnya terlalu kencang. Hanya saja yang aku mau dia selalu ada dalam pendengaran. Bahkan tidak jarang, dia selalu membuatku sulit memejamkan mata ketika malam datang. Dan lagi – lagi dia berulah dengan hal yang sama. Adalah suatu pengabaian yang tak terhitung jumlahnya. Aku tau dia sedang jenuh. Jenuh akan hubungan yang terbentang diantara jarak yang sedemikian jauhnya. Tapi apa dia tidak berfikir jika aku pun merasakan hal yang sama. Yang aku tidak habis fikir mengapa tidak mencari jalan keluarnya bersama – sama tapi justru lebih memilih diam. Kecewa karna dia ingkar janji sudah sering aku hadapi. Semua itu berjalan hampir 4 tahun, lalu kesabaran yang seperti apalagi yang dia mau?
            Dan yang membuat haru adalah perpisahan. Ketika semua yang kupunya sudah aku berikan lantas ia lebih memilih mempercepat langkah dan pada akhirnya berjalan meninggalkanku. Akhirnya pun pertahanannya goyah. Miris bukan saat harus melihat hubungan yang selama ini kujaga dengan sepenuh jiwa harus runtuh tergerus jarak dan waktu. Dulu, aku memang yang terindah. Tapi itu dulu setelah semuanya dia akhiri dengan kata putus. Aku sadar, mungkin terlalu banyak hal yang dia alami sehingga dia tidak bisa menerima cinta dariku lagi. Aku sadar, aku tidak bisa menjadi seperti apa yang dia minta. Ini bukan mauku. Lalu selain mengiyakan, aku bisa apa? Jujur, terlalu menyakitkan ketika harus membaca isi pesan singkatnya yang bertulis kata – kata pengakhir hubungan. Aku menangis dan terus saja kubodohi diriku sendiri. Lalu apa artinya aku menunggunya selama ini? Apa artinya aku menyayanginya melebihi aku menyayangi diriku sendiri. Lalu untuk apa kepercayaan dan seribu harapan yang selama ini ia beri dan terus kunanti jika pada akhirnya dia robek dengan begitu mudahnya. Apa dia tidak pernah merasa ketika membiarkan aku sendiri dikesunyian yang terus membelenggu. Sementara dia entah dengan siapa saja merajut bahagia untuk dirinya sendiri dan tanpa aku. Aku sakit, aku kecewa dan aku terluka. Tapi aku tidak pernah berniat meninggalkannya walau dengan satu derap langkah saja seperti saat ini yang dia lakukan terhadapku. Aku sudah mengorbankan banyak rasa hanya demi hubungan yang selama ini selalu aku banggakan. Betapa aku menjaganya sekuat tenaga dalam hidup dan mati, ditiap resah, dari detik demi detik. Namun pada akhirnya ia hancurkan, ia hempaskan ego dan amarahnya sampai membuat hatiku berantakan menjadi kepingan kecil yang tidak dapat aku rangkai kembali.
            Kemudian apa yang dia lakukan ketika aku meronta, menangis, menggelayut dikakinya memohon agar dia tidak meninggalkan aku? Lantas dia katakan tidak dan pergi berlalu tanpa memperdulikan bagaimana harus kusembuhkan lukaku ini. Diluar sana adakah yang lebih sakit dari aku? Ketika harus merasakan bagaimana tidak enaknya makan, bagaimana sulit terpejamnya mata, bagaimana rasanya mata sembab akibat airmata yang terus membanjiri pipi. Ketika harus merasakan bagaimana rasanya mengurung diri didalam kamar, bagiamana rasanya semua yang dilakukan terasa hambar. Ketika harus berjuang melawan tekanan untuk menetralisir sebuah keadaan akibat dari suatu  kehilangan. Yaa... Kehilangan orang yang kita sayang membuat hidup rasanya berada dititik terendah dipusara si bulat nol.  
            Katanya aku tidak peka. Ketidakpekaan seperti apa yang dia maksud? Bukankah aku sudah memberikan bahuku sebagai tempat sandarannya meskipun pada ujungnya setelah dia pulih dari letih dia pergi berlalu begitu saja. Apa itu yang ia sebut tidak peka? Dusta. Ibuku, mungkin beliau lah seseorang yang berhasil mengembalikkan kepercayaan diriku dengan segenap cintanya. Seseorang yang dengan rela mengulurkan tangan lembutnya untuk menopang segala kesedihanku. Seseorang yang merengkuhku dengan dekap bahagia sebagai selimutnya. Yaa, ibuku malaikat pelindungku. Aku memang sedang dirundung pilu. Tapi disekelilingku masih ada mereka yang selalu menjadi pendengar setiaku. Mereka yang dengan sigap menuntunku bangkit lagi setelah jatuh terpuruk. Mereka yang selalu menjadi penghiburku. Atas dasar dorongan yang begitu luar biasa dari mereka, maka kuputuskan untuk mencoba bangun kemudian tegak berdiri. Aku tidak mau terus - menerus terpenjara dibalik ruang hatiku sendiri. Aku lelah. Mungkin ini saatnya menunjukkan pada dia bahwa aku mampu mengukir bahagia dengan ataupun tanpanya. Aku tidak mau menjadi sosok pengecut yang takut dan lari dari kenyataan. Sedikit demi sedikit aku mulai dapat bergerak bebas seperti jauh sebelum aku mengalami kejadian ini. Bukan hal besar, adalah hobi menulisku yang aku yakin dapat memulihkanku kesediakala. Aku tidak mau lagi meratapi kepergian sang kekasih hati. Aku rasa sudah bukan saatnya, sementara ada atau tiadanya dia hidup terus berjalan. Aku tidak mau terus berada diposisi yang sama. Dari situ aku mulai rajin menulis, bahkan hasil tulisanku sering aku ikutsertakan kebeberapa event lomba. Bisa jadi inilah cara termutakhirku. Sedikit bicara dan lebih memilih bersua lewat kata. Aku yakin aku akan baik – baik saja.
            Aku tidak ingin serta merta menyalahkannya. Aku sadar, aku hanya manusia biasa. Barangkali memang cintaku terlalu sederhana untuk dia yang begitu istimewa. Mungkin inilah jalan yang terbaik. Saling melepaskan juga merelakan. Karna sekalipun bertahan hanya akan membuat semuanya semakin rumit. Sudah hitungan tahun tapi dia masih belum tergantikan. Aku memang masih mencintainya. Tapi bukan berarti aku tidak bisa berkata tidak jika suatu hari nanti dia menawarkan kembali luka yang diatasnamakan kita. Aku sudah bilang berkali – kali, silahkan dia kembali, tapi jangan membawa segudang harapan untukku lagi. Aku tidak lagi berani berharap, karna yang sudah – sudah semua perhatiannya hanya membunuh waktu jenuh. Dia, satu – satunya alasan mengapa sampai saat ini masih kuputuskan untuk hidup sendiri. Seseorang yang membuatku cinta setengah gila. Dia, laki – laki kesayanganku yang pernah lupa akan tanggal ulang tahunku. Tidak apa – apa, dia masih tetap kucintai dan aku sudah berbesar hati atas apa yang terjadi.
            Sekarang aku jadi tau mengapa Tuhan memberiku batin yang kuat. Alasannya karna beberapa orang yang Tuhan hadirkan adalah sebuah cobaan. Tidak semata – mata terus membawa kebahagiaan. Mungkin ombak menghantam karang bukan karena dia tidak suka, tapi dia mencintai dengan cara yang berbeda. Aku hanya tidak ingin hidup dalam sebuah kebencian terlebih menyimpan dendam. Aku memilih memaknai ini sebagai suatu peringatan dan pembelajaran tentang sebuah keikhlasan kepada takdir yang sudah Tuhan gariskan. Kuatlah, bangkitlah. Tunjukkan pada semua bahwa tangan lembut kita mampu mengguncangkan dunia...
Aku...
Tepat disudut toko yang menjadi tempatku mencari uang jajan
Bersama tas tangan warna merah muda semu orange dan saputangan garis bergambar rainbow
Dibawah lampu yang padam dekat dengan cermin kaca yang terpaku didinding dekat pintu
Untuk kamu...
Seseorang yang namanya selalu kusematkan ditiap do’a dan pengharapan
Semoga bahagiamu selalu tercurah bersama seseorang yang kamu anggap tepat

Hari ini, esok dan selamanya