Kamu adalah apa yang aku tulis , tapi aku adalah yang selalu luput kamu baca

Toad Jumping Up and Down

Minggu, 29 Desember 2013

Kisah mini - Event Cermin - Pipet magazine ( Majalah Online Jambi )




Antara takut dan iba , aku menghampirinya yang sedang berbaring ditempat tidur memeluk sebuah guling . Raut wajah yang sendu , dengan mata sembab yang terus dialiri airmata masih terlukis jelas . Dia citra , sahabat karibku .

 Dia baru saja bertengkar hebat dengan kekasihnya yang pada puncaknya dia ditinggalkan begitu saja setelah tiga tahun menjalin hubungan . Aku mencoba membuka pembicaraan , berharap sapaanku bisa sedikit menghibur kesedihannya . Tapi tak ada respon darinya . Yang ada hanya sebuah tangisan yang kian menderu . Aku bingung . Aku fikir usahaku sia – sia menasehatinya dengan segala kelembutan . Bukannya dia bangkit tapi justru seolah kata – kataku memanjakannya untuk terus berada dititik keterpurukan .

Akhirnya aku memberanikan diri untuk menaikkan nada bicaraku dengan sedikit hentakan . Bak orang yang tak punya akal , aku berbicara panjang lebar dari A hingga Z . Bukan cemoohan ataupun penghinaan , aku hanya berusaha membangkitkan semangatnya agar tak terus bersedih . Namun semakin aku berbicara keras tangisannya justru semakin membuncah . Aku berusaha untuk tidak memperdulikannya . Sejenak aku diam menunggu respon apa yang akan dia tunjukkan kepadaku .

            Dia bangun kemudian menoleh kearahku . Mulailah dia menceritakan semua masalah yang mengungkungnya . Tentang sebuah pengkhianatan , bahwa ada perempuan lain yang ternyata mengganggu hubungannya dengan kekasihnya dulu . Sebuah pengkhianatan yang terjadi dalam kurun waktu satu setengah tahun yang hasilnya laki – laki yang dulu menjadi pacar temanku lebih memilih perempuan pengganggu itu . Sulit diungkapkan bagaimana rasanya . Kecewa bercampur amarah , sedih juga pilu .

            Aku mengusap airmatanya lalu kukatakan bahwa seseorang yang telah melukainnya tidak pantas untuk ditangisi secara berlebihan . Tuhan menciptakan kesedihan lengkap dengan kebahagiaan sebagai balasannya . Bukankah hakikat hidup adalah menerima dan menikmati semua yang telah Tuhan tuliskan untuk kita? Bukankah Tuhan juga berjanji akan selalu bersama orang – orang yang mau melapangkan nuraninya ditiap cobaan? Percayalah , Tuhan tidak ingkar . Pasti akan ada sejuta senyum dibalik seribu tangisan .

            Dia menghentikan tangisannya dan memelukku dengan erat . Suasana kamar menjadi  hening dan tenang .







Sabtu, 28 Desember 2013

Terompet tak bersua




Tatapannya nanar kearah luar pintu yang sengaja dibuka lebar . Wajahnya menyikap rindu dibalik kesenduan . Ini malam kesekian belas kali ia duduk didipan reot  menanti anaknya pulang lalu bersama – sama meniup terompet dimalam pergantian tahun .

            Nak...

            Usiaku kini kian senja

            Ajal kapan saja bisa menjemputku

            Tidakkah kamu rindu pada sosokku yang  mengandungmu selama sembilan bulan?

            Tidakkah kamu ingat pada aku yang sempat menaruhkan nyawa untukmu?

            Tidakkah kamu ingin mengusap peluhku?

            Dan tidakkah kamu menemuiku sebelum aku terbaring kaku dipusara tanah 
            kelahiranmu?

            Disini , didekatku sudah kusediakan pena

            Siapa tau esok ketika kamu tiba aku sudah tak bernyawa

            Tulis saja semua yang ingin kamu utarakan

            Pasti akan kubaca dari atas sana bersama iringan awan

Bisiknya lembut dari hati...

Tiba – tiba ada yang datang mengetuk pintu , sontak ia terkejut lantas mengambil sebuah kayu teman jalan yang selama ini setia menjadi pengganti satu kakinya . Dan harapannya yang datang adalah putra semata wayangnya . Namun ia salah besar , rupanya seorang anak muda yang berniat membeli terompet yang kini tak sempat ia jajakan disepanjang jalan . Tak ada percakapan tawar menawar , yang nampak hanya permainan sepuluh jari dengan bahasa isyarat .

Yaa , dia... seorang ibu tua penyandang tuna wicara dengan satu topangan kaki yang mahir mencipta terompet tak bersua... Seorang ibu tua yang mendamba sebuah terompetnya disuarakan oleh anaknya...

           

           

            

Jumat, 20 Desember 2013

Diary sobek



Aku lebih sennag menyebutmu teman bukan mantan
Dengar... terikat dalam status berteman tidak  mengubah bahwa kamu tak pernah biasa , selalu istimewa
Segalanya memang takkan pernah kembali sama
Tapi bukannya aku tidak peka , bukan juga menutup mata..
Hanya saja aku tidak ingin cinta tumbuh lebih dalam dihatiku sendiri
Kamu yang sekarang adalah orang asing yang tak lagi kukenali
Mungkin benar , waktu bisa mengubah sikap seseorang
Bahkan yang sering terfikirkan olehku kamu tidak akan pernah menemuiku lagi
Terbuktikan sekarang , aku memang hanya selingan
Kamu sedang membuat jarak antara kita kan?
Mencintai kamu bukan harian tapi tahunan
Jadi untuk apa tetap bertahan dalam hubungan pertemanan yang penuh dengan kepura - puraan?
Kemarin aku mencoba mengubur kenangan , tapi kamu datang semerta merta untuk membongkarnya lagi
Setelah terbongkar kamu pergi begitu saja
Untuk apa kembali?
Membawa tumpukan kata yang entah benar atau hanya rayuan semata
Aku memang masih mencintai kamu
Tapi bukan berarti aku tak bisa berkata tidak 
Sepertinya iyaa , karna gelar yang kita punya adalah mantan kadang membuat beberapa orang salah paham
Dengan segala cara yang aku punya , aku sedang berusaha mengistirahatkan segala hubungan kita termasuk dalam kata " teman "
Aku tak lagi berani berharap pada segala perhatian yang kamu beri , karna yang sudah - sudah semua tingkahmu itu hanya membunuh waktu sepimu?
Iyakan?
Harus berapa kali aku bilang?
Silahkan kamu datang dan menyapa kapanpun itu
Memang sudah seharusnya kan mematikan hati untuk kamu yang tak punya hati
Maaf , aku memang suka karna kamu selalu datang dengan cara yang berbeda
Tapi sayangnya segala polah tingkahmu mematikan segala rasa bahkan hatiku
Kali ini aku yang akan menjauh dari kamu
Dan kamu silahkan berada ditempat dengan perempuan yang kamu anggap tepat
Kalaupun harus bertahan , harus berapa lama lagi?
Harus belama lagi bertahan dalam status berteman padahal itu adalah pilihan terakhir agar tak lagi diabaikan
Awas yaa.. jangan tiba - tiba datang setelah menghilang
Karna aku bukan pelampiasan atau sebuah permainan
Belum pernah aku mencintai setabah ini
Menjadi saputangan yang menghapus sendiri kesedihannya
Aku sudah mengambil keputusan untuk melepasmu , jadi jangan pernah lagi kamu sentuh hatiku
Terima kasih atas cinta dan kasihmu
Mungkin ini terdengar klasik dan munafik , tapi tak apa , bisa melihat kamu bahagia itu sudah cukup


Minggu, 01 Desember 2013

#Rumah_Sunyi Senandung dilembah semesta



Pukul delapan pagi seberkas surya merangkak naik menyinari permadani
Gemericik air ditengah ladang memecah keheningan
Desiran angin sepoi – sepoi menggoyangkan ranting – ranting kecil dibatang pohon
Ayam masih berkokok saling bersahutan
Anak – anak burung pencakar langit berkicau berirama

Dibalik batu , puteri malu menampakkan pesonanya
Tersipu malu didekati sang elang
Hakikat Tuhan menciptakan semesta dengan untaian penuh kesan
Mengundang decak kagum dengan kata – kata yang tak mampu dibahasakan
Sebagai persembahan untuk seluruh umat disegala penjuru dunia

Namun apa gerangan yang terjadi hari ini , menit dan detik ini ?
Semua tak lagi sama dan jelas perbedaannya
Beberapa waktu yang lalu air dipantai pasir putih masih nampak berkilau jernih
Tapi hari ini sudah menjadi pucat abu – abu
Alam permai nan syahdu kini menjelma menjadi gugusan pelatara yang hampir sirna
Kilatan cahaya tampak buram nyaris padam

Aku mengerutkan dahi seakan tak meyakini
Duniaku berubah...
Ia dirundung pilu didera nestapa...
Bagai dihajar bencana dahsyat...
Suara gemuruh dari bangunan yang runtuh menambah kalut suasana
Gegunungan memuntahkan isi perutnya
Lahar mengalir membasmi daratan lepas
Meluluhlantakan bumi pijakan kami

Alamku terlindas tak berbekas
Hendak ku selamatkan tapi aku takut ikut termakan
Zamrud khatulistiwa tak lagi berwarna
Bak menginjak jutaan duri , mungkin seperti itulah rasanya tersakiti
Terpungkiri setelah dinikmati
Lantara perilaku manusia yang tak punya hati

Bumiku nyaris mati...

Si pencuri mencabik – cabik isi bumi
Merusak pijakan sampai ketatanan tanah paling dalam
Dari balik gundukan pasir , terlihat segerombolan semut merah keluar dari markasnya
Sepertinya marah pada mereka yang hobi menjarah
Mungkin gigitannya adalah satu bentuk pemberontakkan bahwa mereka tak rela tempat berteduhnya diacak – acak tak karuan

Miris nian duhai bumiku...

Beginikah akhirnya...
Aku harus menghirup udara keruh bercampur abu
Yang bisa kapan saja mematikanku saat rongga nafasku dipenuhi debu
Sementara dibawah sini , kakiku terkubur lumpur
Terpenjara harapan hampa
Bagai peri yang kehilangan tongkatnya...
Jelas terpampang ironi yang tak ada habisnya

Hening tak dapat kutemu lagi
Tak ada hari baru yang menenangkan juga menyejukkan
Rasa dahaga merasuk raga , tapi tak ada pelepasnya
Semua terasa pedas panas
Satu sama lain seperti saling mengacuhkan tak bersahabat

Aku rindu semestaku dulu...

Aku rindu akan semestaku yang mampu mengobati pilu
Bersabarlah wahai alam semesta...
Dan kita yang bukan siapa – sapa...
Tengoklah dibawah sana ada yang merintih kesakitan diinjak – injak hanya agar kita tetap bertahan

Dia berdarah terluka parah
Tergolek lemah , terombang – ambing tak tau arah
Tengok barang sebentar , tempat kita bersarang semakin diserang
Kenapa tidak kita selamatkan saja sebelum akhirnya alam memilih untuk tidur panjang...






#Rumah_Sunyi#Bait_Puisi

#Rumah_Sunyi Bukit empat mimpi




Sepeninggal malam , fajar menyingsing menjemput pagi
Mengusir senyap menghadirkan riuh gemuruh
Mengusikku yang masih terbaring diperaduan
Kuusir kantuk lalu kubulatkan mata dan pandanganku

Diatas sana cahaya orange memantul membias mega
Mengeringkan embun basah sisa – sisa hujan seperempat jam yang lalu
Dari kaca jendela , kulihat segerombolan anak berkerumun dibalik bukit dipulau ini
Sepertinya anak – anak itu sedang menatap pelangi yang muncul dari kejauhan
Mereka nampak bahagia menebar gelak tawa

Bicara bahagia aku pernah berada pada sepenggal cerita bersamanya
Merajut rasa melafal asa
Tapi dipersimpangan itu kita terpisah berbeda arah

Awal dari sejarah peristiwaku...
Kubuka gerbang yang telah sejak lama mengungkung langkahku
Satu tarikan nafas pertama dengan goresan kosong
Menghancurkan batu sandungan yang menghadangku yang sedang membawa sebongkah mimpi dan harapan
Aku menjadi pemandu ragaku menapakkan jejak pertama dititian panjang

Dalam sebuah mimpi kecilku terlukis jelas sebuah tempat persinggahan berornamen putih lengkap dengan bunga dan hiasannya
Berpenghuni sepasang muda – mudi bak pangeran dengan seorang puteri
Aku melambatkan derap langkahku
Kemudian melayangkan senyum tipis diujung bibir entah pada siapa
Ah... itu mimpi pertamaku...

Kembali kudaki dataran luas tak berpenghuni
Yang kudengar hanya nyanyian sumbang yang menggetarkan sukma jiwa
Angin semilir seraya menyindir
Menertawakanku yang layu menitih jalan bertalu – talu

Seperti kehilangan arah , kakiku tiba – tiba terhenti berhenti melangkah
Aku bertengger diberingin tua nyaris sesak tak bernafas
Ribuan guyuran hujan membasahiku yang hanya berbalut baju berwarna merah jambu
Ku ikat rambut ikalku dengan sebuah jepit rambut bermotif ukiran hati
Bagai burung yang baru saja terlepas dari sangkarnya

Aku ketakutan
Sunyi menyikap hati
Gundah mengundang resah
Duduk sendiri berkawan sepi demi sebuah harapan dan sepucuk mimpi

Tak sadar aku dibuat mimpi oleh dingin yang menjadi
Tepat dipersinggahan yang menjadi mimpi mungilku
Seseorang menghadiahiku sebuah bilik kosong berpenghuni buku dan sajak – sajak puisi
Disudut ruang itu tertulis Teruntuk penulis manisku berjemari lentik dengan sejuta kisah yang menggelitik
Sontak aku terbelalak menangis sejadi – jadinya

Tapi seperti ada yang menyentakku , memarahiku untuk tak terlena dan terpuruk lama – lama
Aku bergegas melanjutkan perjalananku dengan harapan akan sampai tepat diwaktunya
Jauh disebuah titik , bayanganmu menampakkan diri
Aku berlarian mengejar dan mencari dimana titik itu berotasi
Bak dilempar dengan kursi...
Aku tersungkur tak berarti , hampir mati...
Namun kupatri dalam hati , bahwa upayaku untuk meraih mimpi harus kudapati

Umpama harus menjadi debu , semangatku akan tetap menggebu
Meski dengan nafas yang kembang kempis tersengal – sengal
Ditambah airmata pilu dan peluh perjuangan bercampur menjadi satu

Aku menoleh ke sudut barat daya
Dibalik ilalang yang menjulang kudapati sebuah alat musik bertuts hitam dan putih teronggok tanpa pemusik
Kudekati , kuusap – usap lalu kucoba mainkan nada demi nada dengan ritmik yang menarik
Aku bertanya dalam hati...
Dibukit tak berpenghuni ini siapa yang memiliki benda berpenghasil suara tadi?

Mataku menatap nanar , aku melamun...
Dalam lamunanku puncak bukit nampak menyembul terbias cakrawala senja
Tapi diakhir langkahku menjemput mimpi mengapa badai tak jua turun dari tahta?
Mengapa halangan justru terasa semakin menikam dan mencoba membunuh segala usahaku?
Aku berusaha menelan masa lalu dan membawanya pergi agar segera ditelan samudera

Aku tertunduk bersujud dipusara bumi...
Kuteriakkan segala mimpi yang tertanam dihati
Kusuarakan semangat jiwa yang menggelora
Berharap dapat terdengar dari segala penjuru

Sisi lain ada yang menyeretku , menyulutkan lentera coba terangi jalanku
Tuhan... itukah Engkau?
Hadir membawa kesejukkan bagai oase ditengah hamparan gurun
Menghidupkan kembali sendi – sendi yang mulai meringkuk kaku

Namun masih dengan tertatih...
Langkah pemungkas masih terasa berat
Dan parahnya aku harus merangkak menuju puncak
Letih...  nyaris tak bernyawa...

Ku genggam erat rumput yang mengakar dibukit dimana aku merasakan segala sakit
Berharap ia membantuku menopang tulangku yang akan patah bertanding melawan tanah
Diseberang sana , tepat dipuncak bukit berjejer dua anak kecil berraut wajah sama persis
Dengan mata sayu lembut merajuk seolah siap menyambutku
Kudekati mereka , kusapa dan kubelai rambut hitamnya satu per satu

Yang satu menunjukkan ku kearah langit dengan telunjukknya
Kulihat pelangi berseri menyemai nurani diiringi arak – arak awan yang berkejar – kejaran
Yang satu lagi menunjukkanku kearah tepat dikaki bukit
Dan yang aku lihat disana hamparan lautan lepas dengan pantai yang kokoh melambai kerahku meminta agar aku menjadi kekasihnya

Pada puncaknya semua menandakan jika langkahku tidak akan terhenti mengikuti hingga batas langit mengakhiri
Mengarungi lautan melawan ombak yang siap menggulung semua mimpi
Hidup harus berlanjut dan tak boleh gugur diperjalanan
Kuangkat wajahku sedikit
Tersenyum manis dalam sebuah kemenangan

Dibawah senja , bersama Tuhan yang selalu menjadi penerang segala do’a dan pengharapan
Aku masih disini , menunggumu menahkodai kapal , berlayar lantas kembali kedermaga disisi bukit yang kusebut “ Bukit Empat Mimpi  “



#Rumah_Sunyi#Bait_Puisi