Sepeninggal
malam , fajar menyingsing menjemput pagi
Mengusir
senyap menghadirkan riuh gemuruh
Mengusikku
yang masih terbaring diperaduan
Kuusir
kantuk lalu kubulatkan mata dan pandanganku
Diatas
sana cahaya orange memantul membias mega
Mengeringkan
embun basah sisa – sisa hujan seperempat jam yang lalu
Dari
kaca jendela , kulihat segerombolan anak berkerumun dibalik bukit dipulau ini
Sepertinya
anak – anak itu sedang menatap pelangi yang muncul dari kejauhan
Mereka
nampak bahagia menebar gelak tawa
Bicara
bahagia aku pernah berada pada sepenggal cerita bersamanya
Merajut
rasa melafal asa
Tapi
dipersimpangan itu kita terpisah berbeda arah
Awal
dari sejarah peristiwaku...
Kubuka
gerbang yang telah sejak lama mengungkung langkahku
Satu tarikan
nafas pertama dengan goresan kosong
Menghancurkan
batu sandungan yang menghadangku yang sedang membawa sebongkah mimpi dan
harapan
Aku
menjadi pemandu ragaku menapakkan jejak pertama dititian panjang
Dalam
sebuah mimpi kecilku terlukis jelas sebuah tempat persinggahan berornamen putih
lengkap dengan bunga dan hiasannya
Berpenghuni
sepasang muda – mudi bak pangeran dengan seorang puteri
Aku
melambatkan derap langkahku
Kemudian
melayangkan senyum tipis diujung bibir entah pada siapa
Ah...
itu mimpi pertamaku...
Kembali
kudaki dataran luas tak berpenghuni
Yang
kudengar hanya nyanyian sumbang yang menggetarkan sukma jiwa
Angin
semilir seraya menyindir
Menertawakanku
yang layu menitih jalan bertalu – talu
Seperti
kehilangan arah , kakiku tiba – tiba terhenti berhenti melangkah
Aku
bertengger diberingin tua nyaris sesak tak bernafas
Ribuan
guyuran hujan membasahiku yang hanya berbalut baju berwarna merah jambu
Ku ikat
rambut ikalku dengan sebuah jepit rambut bermotif ukiran hati
Bagai
burung yang baru saja terlepas dari sangkarnya
Aku
ketakutan
Sunyi
menyikap hati
Gundah
mengundang resah
Duduk
sendiri berkawan sepi demi sebuah harapan dan sepucuk mimpi
Tak
sadar aku dibuat mimpi oleh dingin yang menjadi
Tepat
dipersinggahan yang menjadi mimpi mungilku
Seseorang
menghadiahiku sebuah bilik kosong berpenghuni buku dan sajak – sajak puisi
Disudut
ruang itu tertulis “
Teruntuk penulis manisku berjemari lentik dengan sejuta
kisah yang menggelitik “
Sontak
aku terbelalak menangis sejadi – jadinya
Tapi
seperti ada yang menyentakku , memarahiku untuk tak terlena dan terpuruk lama –
lama
Aku
bergegas melanjutkan perjalananku dengan harapan akan sampai tepat diwaktunya
Jauh
disebuah titik , bayanganmu menampakkan diri
Aku
berlarian mengejar dan mencari dimana titik itu berotasi
Bak
dilempar dengan kursi...
Aku
tersungkur tak berarti , hampir mati...
Namun
kupatri dalam hati , bahwa upayaku untuk meraih mimpi harus kudapati
Umpama
harus menjadi debu , semangatku akan tetap menggebu
Meski
dengan nafas yang kembang kempis tersengal – sengal
Ditambah
airmata pilu dan peluh perjuangan bercampur menjadi satu
Aku
menoleh ke sudut barat daya
Dibalik
ilalang yang menjulang kudapati sebuah alat musik bertuts hitam dan putih
teronggok tanpa pemusik
Kudekati
, kuusap – usap lalu kucoba mainkan nada demi nada dengan ritmik yang menarik
Aku
bertanya dalam hati...
Dibukit
tak berpenghuni ini siapa yang memiliki benda berpenghasil suara tadi?
Mataku
menatap nanar , aku melamun...
Dalam
lamunanku puncak bukit nampak menyembul terbias cakrawala senja
Tapi
diakhir langkahku menjemput mimpi mengapa badai tak jua turun dari tahta?
Mengapa
halangan justru terasa semakin menikam dan mencoba membunuh segala usahaku?
Aku
berusaha menelan masa lalu dan membawanya pergi agar segera ditelan samudera
Aku
tertunduk bersujud dipusara bumi...
Kuteriakkan
segala mimpi yang tertanam dihati
Kusuarakan
semangat jiwa yang menggelora
Berharap
dapat terdengar dari segala penjuru
Sisi
lain ada yang menyeretku , menyulutkan lentera coba terangi jalanku
Tuhan...
itukah Engkau?
Hadir
membawa kesejukkan bagai oase ditengah hamparan gurun
Menghidupkan
kembali sendi – sendi yang mulai meringkuk kaku
Namun
masih dengan tertatih...
Langkah
pemungkas masih terasa berat
Dan
parahnya aku harus merangkak menuju puncak
Letih...
nyaris tak bernyawa...
Ku
genggam erat rumput yang mengakar dibukit dimana aku merasakan segala sakit
Berharap
ia membantuku menopang tulangku yang akan patah bertanding melawan tanah
Diseberang
sana , tepat dipuncak bukit berjejer dua anak kecil berraut wajah sama persis
Dengan
mata sayu lembut merajuk seolah siap menyambutku
Kudekati
mereka , kusapa dan kubelai rambut hitamnya satu per satu
Yang
satu menunjukkan ku kearah langit dengan telunjukknya
Kulihat
pelangi berseri menyemai nurani diiringi arak – arak awan yang berkejar –
kejaran
Yang
satu lagi menunjukkanku kearah tepat dikaki bukit
Dan yang
aku lihat disana hamparan lautan lepas dengan pantai yang kokoh melambai
kerahku meminta agar aku menjadi kekasihnya
Pada
puncaknya semua menandakan jika langkahku tidak akan terhenti mengikuti hingga
batas langit mengakhiri
Mengarungi
lautan melawan ombak yang siap menggulung semua mimpi
Hidup
harus berlanjut dan tak boleh gugur diperjalanan
Kuangkat
wajahku sedikit
Tersenyum
manis dalam sebuah kemenangan
Dibawah
senja , bersama Tuhan yang selalu menjadi penerang segala do’a dan pengharapan
Aku masih
disini , menunggumu menahkodai kapal , berlayar lantas kembali kedermaga disisi
bukit yang kusebut “ Bukit Empat Mimpi “
#Rumah_Sunyi#Bait_Puisi